KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seluruh alam. Yang
telah memberikan kami kesempatan dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Salam dan salawat semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW
yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, beserta keluarga dan para
sahabatnya serta para pengikutnya yang setia sampai hari kemudian.
Makalah “Perbedaan Pendapat Para Ulama dalam
Mengistinbatkan Hukum Syar’i” ini kami buat dengan maksud untuk menunaikan
tugas mata kuliah Ilmu Fikh. Kami berharap penyusunan dalam bentuk makalah ini
akan memberi banyak manfaat dan memperluas ilmu pengetahuan kita, khususnya
tentang masalah perbedaan pendapat atau paham para fuqaha/ulama dalam memahami
Al-Qur’an dan Sunnah. Kami selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang
mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu
pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan
manfaat positif bagi kita semua, khususnya kami selaku penulis.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Gowa, 11 Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. 1
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. 2
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
…………………………………………….. 3
B.
RUMUSAN MASALAH
…………………………...……………... 3
C.
TUJUAN PENULISAN
……………………………….…………... 4
BAB II PEMBAHASAN
A.
SEBAB-SEBAB
PERBEDAAN PENDAPAT ……………….…... 5
B.
PENGARUH
PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA …….. 12
C.
HIKMAH
PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA
………… 13
BAB III PENUTUP
A.
KESIMPULAN
……………………………………………………. 16
B.
SARAN
……………………………………………………………. 16
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Perbedaan tidak pernah bisa dicegah. Ia merupakan sunnatullah
yang terjadi secara alami. Perbedaan akan semakin memperindah alam, Sebagaimana
pelangi. Warna-warni pelangi justru menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap
mata yang melihat. Akan terlihat lucu bila pelangi hanya memiliki satu warna.
Hukum Islam pun demikian, perbedaan
pendapat di kalangan mujtahid menjadi sesuatu yang wajar. Karena itu, bersikap
arif , bijaksana dan kritis dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut amat
dibutuhkan. Pro kontra mujtahid dalam beristinbath, justru semakin mempermudah
umat dalam beragama, sebab sejatinya, agama tidak menghendaki umatnya hidup
dalam kesulitan. Dari sinilah kemudian rahmat Tuhan bisa dirasakan.
Betapapun sebuah perbedaan, khususnya
perbedaan pendapat mujtahid- termasuk sunnatullah yang bersifat alami, tetapi
ini tidak berarti bahwa perbedaan tak mempunyai sebab. Perbedaan merupakan
akibat, sementara setiap akibat tentu mempunyai sebab. Demikian juga yang
terjadi pada perbedaan mujtahid dalam beristinbath. Perbedaan-perbedaan itu
tidak muncul begitu saja. Ia muncul karena beberapa faktor, entah itu faktor
internal maupun eksternal.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
saja sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para fuqaha dalam
mengistinbatkan hukum syar’i ?
2.
Apa
pengaruh perbedaan pendapat para ulama dalam memahami hukum syar’i ?
3.
Apa
saja hikmah perbedaan pendapat para ulama dalam memahami hukum syar’i ?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui
sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para fuqaha dalam mengistinbatkan
hukum syar’i.
2.
Mengetahui
pengaruh perbedaan pendapat para ulama dalam memahami hukum syar’i.
3.
Mengetahui
hikmah perbedaan pendapat para ulama dalam memahami hukum syar’i.
4.
Memenuhi
tugas mata kuliah Ilmu Fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEBAB-SEBAB
PERBEDAAN PENDAPAT
1.
Hal-hal yang
Berkaitan dengan Lafaz
Segenap ulama Islam telah meyakini dan menyepakati
Al-Qur’an dan Hadis sebagai pegangan utama dan umat Islam tidak akan tersesat
selama-lamanya selama mereka tetap berpegang kepada dua sumber tersebut. Namun,
kenyataan menunjukkan bahwa kedua sumber dimaksud terdiri dari lafaz-lafaz
bahasa Arab yang dalam suku katanya mempunyai arti banyak, dimana antara arti
yang satu dengan yang lain saling bertentangan, atau ada banyak kata tetapi
mempunyai arti yang sama. Selanjutnya, ada lafaz yang dari satu sisi dipandang
sebagai hakikat, tetapi di sisi lain
dianggap sebagai majaz, ada lafaz
dalam bentuk mutlaq, dan ada yang muqayyad. Dan, di samping itu lagi, ada
yang berbentuk perintah dan ada pula yang berbentuk larangan, dsb.
Di
antara lafaz yang mempunyai arti ganda biasa disebut lafaz musytarak, terdapat dalam firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat
228 :
àM»s)¯=sÜßJø9$#urÆóÁ/utIt£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/spsW»n=rO&äÿrãè%4
“Dan
perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri tiga kali quru’.”
Lafaz
quru’ dalam ayat di atas punya arti
ganda: suci dan haid. Karena memang lafaz tersebut digunakan oleh bangsa Arab
untuk kedua makna tersebut. Oleh karenanya, sebagian ulama mengartikan quru’ dengan suci, seperti kelompok
Syafi’iyah, sehingga mereka mewajibkan iddah
wanita yang ditalak tiga kali suci. Sebaliknya kelompok Hanafiyah mengartikan
lafaz quru’itu dengan haid, sehingga
mereka mewajibkan iddah wanita yang
ditalak seperti disebut di atas selama tiga kali haid, bukan tiga kali suci.
Kemudian,
ada ulama yang memakai arti lughwydari
suatu lafaz dan ada pula yang memakai arti syar’i (epistimologi). Misalnya,
lafaz nikah dalam surah An-Nisaa ayat 22 :
wur(#qßsÅ3Zs?$tByxs3tRNà2ät!$t/#uä
“Dan janganlah kamu nikahi wanita
yang telah dinikahi oleh ayahmu.”
Menurut
lughat (etimologi), nikah berarti persetubuhan, dan menurut syara’ berarti
akad. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah yang mengartikan lafaz tersebut dengan
makna yang disebut pertama; melarang seseorang kawin dengan wanita yang sudah
disetubuhi oleh ayahnya, baik perkawinan itu secara halal atau bukan. Di lain
pihak, ulama Syafi’iyah yang mengartikan lafaz nikah itu dengan akad nikah,
tidak melarang seseorang kawin dengan wanita yang telah disetubuhi ayahnya
secara tidak sah. Perkawinan itu baru terlarang kalau persetubuhan yang
dilakukan ayahnya dengan wanita itu adalah persetubuhan yang sah setelah
melalui akad nikah.
Begitu
juga beberapa bentuk kalimat lainnya, yang oleh keadaan lafaznya sendiri sering
membawa pengertian yang berbeda di kalangan ulama.
2.
Hal-hal yang
Berkaitan dengan Periwayatan
Kadang-kadang
sebuah hadis sampai kepada sebagian imam, lalu mereka beramal dengannya, dan
tidak sampai kepada sebagian yang lain, sehingga mereka beramal dengan dalil
lain pula. Misalnya, pertikaian ulama tentang kasus wanita yang ditalak tiga
suaminya. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 230:
xsù@ÏtrB¼ã&s!.`ÏBß÷èt/4Ó®LymyxÅ3Ys?%¹`÷ry¼çnuöxî3
“Tidak halal ia bagimu sehingga ia
menikah dengan suami lain.”
Sa’id bin Musayyab berpendapat bahwa
istri yang ditalak tiga suaminya akan halal kembali bagi suami yang mentalaknya
setelah istri itu kawin dengan laki-laki walau suami kedua itu tidak
menyetubuhinya. Ulama lain mengatakan baru halal apabila suami kedua tersebut
sudah menyetubuhinya, karena ada riwayat lain yang menyatakan :
“Hingga kamu merasakan madunya, dan
Dia merasakan madunya”
Hadis yang disebutkan terakhir ini tidak
sampai kepada Sa’id Musayyab sehingga ia tidak beramal dengannya. Tambahannya
lagi, nikah dalam pengertian syara’ adalah akad, demikian Sa’id berpendapat.
Kecuali itu, ada hadis yang sampai
kepada seorang imam, tapi karena menurut penelitiannya riwayat hadis tersebut
lemah, meninggalkannya dan tidak beramal dengannya. Padahal, menurut pendapat
ulama yang lain, hadis itu dianggap kuat sebagai hujjah, ia beramal dengan hadis itu.
3.
Hal-hal yang
Berkaitan dengan Ta’arudh
Permasalahan Ta’arudh adalah sebab yang paling banyak menimbulkan perbedaan
pendapat ulama dibidang hukum Islam. Oleh karenanya, sebelum sampai ke
permasalahan pokok, ada baiknya kalau ta’arudh
dibicarakan terlebih dahulu walaupun sepintas.
Menurut bahasa, arudh berarti taqabul dan
tamanu’ atau bertentangan dan
sulitnya pertemuan. Ulama ushul mengartikan ta’arudh
ini sebagai dua dalil yang masing-masing menafikan apa yang ditunjuk oleh dalil
yang lain. Misalnya, ada ayat yang mewajibkan kita membuat wasiat untuk orang
tua dan kerabat (QS. Al-Baqarah : 178). Namun, di lain pihak hadis melarang
wasiat itu kepada ahli waris.
Contoh lain adalah tentang membasuh atau
menyapu kedua kaki ketika berwudhu. Hal ini terdapat dalam firman Allah dalam
surah Al-Maidah ayat 6:
(#qßs|¡øB$#uröNä3ÅrâäãÎ/öNà6n=ã_ör&urn<Î)Èû÷üt6÷ès3ø9$#4
“Dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
Dalam satu qiraat dibaca wa arjulakum
sehingga ada ulama yang berpendapat bahwa kaki itu wajib dibasuh ketika
berwudhu’. Namun. Dalam qiraat lain dibaca wa arjulikum sehingga ada ulama yang
mengatakan bahwa kaki itu cukup disapu saja ketika berwudhu’.
Begitu juga status mani yang menempel di
kain. Dalam sebuah hadis, Nabi berkata bahwa mani itu sama hukumnya dengan
lendir hidung dan air liur. Namun, di pihak lain ada lagi hadis yang menyatakan
bahwa kain perlu dicuci dari lima hal: kencing, berak, darah, muntah, dan mani.
Banyak lagi contoh yang mengungkapkan ta’arudh dalam lafaz nash, sehingga berbeda pendapat dan
sikap ulama dalam memahaminya. Namun, perlu dicatat bahwa ta’arudh yang sebenarnya tidak mungkin terjadi dalam diri nashitu sendiri, sebab pertentangan seperti
itu kalau benar-benar ada berarti pertentangan dalam diri syar’i, terutama
Allah sendiri. Hal ini tentu mustahil adanya karena Allah bersih dari segala
macam konflik batin sebagaimana terdapat dalam diri manusia. Oleh sebab itu, ta’arudh disini perlu dipahami sebagai
pertentangan dalam nash menurut
tanggapan manusia ketika mereka memahami nash
itu sendiri. Oleh karena manusia tidak mungkin mengetahui kebenaran hakiki dan
mutlak sebagaimana adanya dalam konsep Allah, pertentangan tersebut adalah
semata-mata keterbatasan manusia dalam menangkap pesan-pesan syar’i yang sedang
mereka pelajari. Dan menyadari keadaan semua ini, para ulama berusaha
melepaskan diri dari pertentangan itu dengan menempuh dua jalan.
Pertama, jalan
Hanafiyah dan ulama-ulama yang sependapat dengannya. Kelompok ini menempuh
jalan pentarjihan, yaitu meneliti dalil mana yang lebih kuat dari dua dalil
yang kelihatannya bertentangan tersebut. Yang terkuat di antaranya, itulah yang
dipakai. Kelompok ini mendahulukan pentarjihan dari perekonomian.
Kedua, jalan jumhur
ulama. Kelompok ini mendahulukan pengompromian dua dalil yang bertentangan itu
dari pentarjihannya. Karena, dengan upaya pengompromian itu berarti kita
mengamalkan kedua dalil tersebut.
Ulama ushul melihat bahwa ta’arudh tidak hanya terjadi di sekitar
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga di antara dua qiyas antar
kaidah-kaidah yang digunakan dan dalil-dalil lain yang menyebabkan pula
berbedanya produk hukum yang dihasilkan.
4.
Hal-hal yang
Berkaitan dengan ‘Urf
Seperti
diketahui masing-masing daerah mempunyai kekhususan, baik adat istiadat,
kondisi sosial, iklim, dsb. Semua kekhususan itu cukup berpengaruh kepada
masing-masing mujtahid dalam melakukan ijtihadnya. Ada ulama yang membolehkan
seseorang guru mengaji menerima upah mengajarkan Al-Qur’an karena tidak ada
guru yang mengajar tanpa dibayar. Sementara ulama daerah lain tidak melakukan
hal yang sama karena di daerah itu sudah berlaku kebiasaan tidak dibayarnya
guru mengaji dan memang banyak guru mengaji seperti itu.
Begitu
juga ada imam yang mengatakan najisnya debu di salah satu daerah karena
terbiasanya binatang ternak berkeliaran kotorannya tidak tertampung di tempat
tertentu, sementara ada imam lain yang mengatakan tidak najisnya debu
disebabkan daerah tersebut bukanlah daerah dimana binatang ternak bebas
berkeliaran seperti di daerah yang disebut pertama.
5.
Hal-hal yang
Berkaitan dengan Dalil-dalil yang Diperselisihkan
Ketika kita berbicara tentang
sumber-sumber hukum fiqh telah diungkapkan bahwa dalil-dalil yang disepakati
jumhur ulama sebagai sumber hukum Islam ada 4: Al-Qur’an, Hadis, ijma, dan
qiyas. Selebihnya seperti istihsan,
istishlah, ‘urf, dan lain-lainnya termasuk kepada dalil yang
diperselisihkan pemakaiannya. Artinya, para ulama tidak sepakat untuk memakai
itu semuanya sebagai sumber hukum. Ada yang memakai istihsan dan ada pula yang
menolaknya, dan begitu pula seterusnya. Bahkan, qiyas pun tidak digunakan oleh
Al-Zahir. Hal-hal ini semua cukup membuat beragamnya metode istinbat hukum yang
dihasilkan walau terhadap kasus tertentu.
Al-Zahir misalnya, mengatakan tikus yang
jatuh ke dalam benda cair selain minyak sapi, tidak akan menajiskannya. Sebab
hadis Nabi hanya mengatakan najisnya minyak sapi yang dimasuki oleh tikus.
Mereka tidak sependapat dengan golongan lainnya yang mengatakan minyak sapi
juga sama-sama benda cair. Al-Zahir tidak menerima qiyas sebagai salah satu
dalil hukum.
Dalam contoh lain, golongan Malikiyah
membolehkan kita membunuh orang Islam yang dijadikan perisai orang kafir untuk menghancurkan
Islam, dengan dasar maslahat al-mursalat. Sementara jumhur tidak membolehkan hal
tersebut, karena mereka tidak menerima maslahat mursalat sebagai dalil. Dan
begitulah seterusnya. Perbedaan itu cukup beragam sesuai dengan beragamnya
dalil-dalil hukum yang dipergunakan masing-masing ulama yang berijtihad.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya
pula sebagai sebab berbedanya pendapat ulama dalam memahami nash tersebut
adalah wawasan keilmuan masing-masing mereka, baik tentang Sunnah Nabi, kaidah
uslub-uslub Arab, atau kemampuan daya nalar dan analisisnya serta berbagai
faktor lain yang lebih bersifat kemampuan intelektual masing-masing. Namun,
terlepas dari itu semua mereka telah memberikan segenap kemampuannya untuk
menanggapi kebenaran syariat ilahi. Dan, hanya Allah sendirilah yang berhak menentukan
mana di antara mereka yang lebih dekat kepada kebenaran-Nya itu.
Perlu ditekankan disini bahwa di samping
perbedaan pendapat banyak pula masalah yang disepakati para ulama, baik dalam
hal-hal yang berkaitan dengan dalil kulli ataupun dalil juz’i. Seperti wajib
melaksanakan shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, menunaikan zakat, naik
haji bagi yang mampu, wajib melaksanakan keadilan, melaksanakan amanat, wajib
memelihara ukhuwah, musyawarah, dll. Haram melakukan pencurian, perampokan,
pembunuhan, zina, minuman khamar, menuduh zina, menghina orang, melakukan riba,
menipu dalam timbangan dan sukatan, menjadi saksi palsu, dsb.
B.
PENGARUH
PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA
Perbedaan
pendapat ini sudah terjadi sejak masa Nabi, hanya saja pada zaman Nabi apabila
terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat ada yang memberikan keputusan
akhir yaitu Nabi sendiri. Dengan demikian, perbedaan pendapat dapat
terselesaikan. Umat pun mengikuti keputusan Nabi ini. Pada zaman sahabat,
terutama pada zaman Khulafa al –Rasyidin, untuk masalah-masalah yang berkaitan
dengan kemaslahatan umat selalu dimusyawarahkan oleh khalifah dengan
anggota-anggota majelis permusyawaratan. Keputusan musyawarah ini menjadi
pegangan umat.
Perbedaan
pendapat dalam masalah lainnya yang tidak langsung berkaitan dengan kepentingan
umat. Perbedaan pendapat para ulama dalam bidang fiqh ini tidak memberikan
pengaruh yang negatif sampai ke zaman Imam-Imam mujtahidin. Mereka tahu pasti
dimana dimungkinkan perbedaan pendapat, dan dimana harus terjadi kesepakatan. Dengan
demikian apabila terjadi perbedaan pendapat pada masa itu mereka cukup toleran
dan menghargai pendapat yang lain. Imam Syafi’i menghargai pendapat Imam Malik
dan Imam Malik juga menghargai pendapat Abu Hanifah.
Namun,
setelah orang fanatik kepada satu mazhab atau kepada satu pendapat ulama, maka
sering perbedaan pendapat ini mengakibatkan hal-hal yang tidak pada tempatnya.
Melampaui batas-batas yang harus dipegang bersama, merusak persatuan dan
kesatuan umat serta ukhuwah Islamiyah yang dibina oleh Rasulullah SAW. Prof.
Hasbi menyatakan: “Apabila kita perhatikan keadaan masyarakat Islam dewasa ini
dan sebabnya mereka bergolongan-golongan ditinjau dari segi hukum Islam niscaya
nyatalah bahwa di antara sebab-sebab itu ialah perbedaan pegangan, perbedaan panutan,
dan perbedaan ikutan. Dan untunglah di tanah air kita Indonesia ini pengaruh
perbedaan anutan dan golongan tidaklah meruncing, jika dibandingkan dengan
keadaan di luar negeri seperti di India, Persia, dan lain-lain tempat”.
Pengaruh negatif dari perbedaan pendapat ini ternyata bisa dinetralisasi dengan
pendidikan yang meluaskan wawasan berpikir tentang hukum Islam. Antara lain
dengan caramuqaranah al-madzahib dan
membaca kitab-kitab Imam Madzhab.
C.
HIKMAH PERBEDAAN
PENDAPAT PARA ULAMA
Perbedaan
pendapat tidak akan mengakibatkan pengaruh yang negatif. Bahkan, perbedaan
pendapat bisa memberikan hikmah yang besar. Dengan berpikir kritis dan bersikap
terbuka terhadap perbedaan pendapat para ulama, maka perbedaan pendapat itu
akan memberikan hikmah yang besar.
Kita
memiliki sejumlah besar hasil ijtihad yang memungkinkan untuk memilih mana
alternatif yang terbaik di antara pendapat para ulama yang bisa diterapkan
untuk masa sekarang ini. Cara inilah yang sedang ditempuh para ahli hukum
Islam. Sekarang seperti terbukti dalam perkembangan hukum Islam terakhir.
Di
samping itu, dengan adanya perbedaan pendapat para ulama, kita akan tahu alasan
masing-masing ulama tentang pendapatnya tersebut, sehingga memungkinkan kita
untuk mentarjih atau cenderung kepada pendapat yang mempunyai alasan yang lebih
kuat. Dengan demikian dari perbedaan pendapat ulama yang ada, dengan melihat
kepada cara beristinbat, akan tampak mana pendapat-pendapat yang lebih banyak
meraih nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah.
Kita
melihat kenyataan bahwa bagaimanapun juga selama diperkenankan ijtihad, maka
berarti diperkenankan adanya perbedaan pendapat. Sebab ijtihad mengakibatkan
adanya perbedaan pendapat para ulama. Ini berarti dituntut sikap toleran
terhadap kenyataan adanya perbedaan pendapat. Kenyataan lain adalah umat Islam
pada umumnya yang tidak mampu berijtihad akan mengikuti salah satu pendapat
ulama, baik dengan cara Ittiba’
maupun Taklid. Ini bisa dipahami karena umat Islam yang awam mempunyai i’tikad
baik untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama. Yang tahu
ajaran agama itu adalah ulama (Ahli Agama). Maka, dengan iktikad baiknya itu
mereka mengikuti salah seorang ulama. Apalagi mereka sering dengar “Al-‘ulama waratsat al-anbiya” para
ulama itu adalah ahli waris para Nabi. Oleh karena itu, kedudukan ulama sangat
tinggi di mata mereka. Fatwa ulama pada pandangan mereka sama dengan fungsi
dalil pada pandangan mujtahid. Hal ini tampak dari ungkapan: Qaul al-mufi fi haqq al-‘am ka al-adilla fi
haqq al-mujtahid.
Sekalipun
keharusan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah sudah lama dikumandangkan, dan
disepakati oleh seluruh Imam Mazhab, tetapi tampaknya belum ada model thuruq al-istinbath yang baru.
Akibatnya, sering terjadi adanya pendapat baru, tetapi jika diteliti ternyata
telah ada. Mungkin, ditemukan pada mazhab Hanafi, atau Maliki, atau Syafi’i,
Habali, Dhahiri, Syi’i, atau ulama lainnya (Al-Tharabi, Abu Tsawr, Laits bin
Sa’ad, dll). Cara beristinbat untuk masalah baru pun ternyata sama dengan salah
satu Imam Mazhab. Dhahiri menekankan pada dhahir nash, sedangkan Maliki dan
Hanafi lebih menekankan pada kemaslahatan dan semangat ajaran, metode-metode
lainnya dalam ilmu Ushul fiqh.
Akhirnya
dapat dinyatakan bahwa perbedaan pendapat adalah wajar dalam masalah-masalah
ijtihadiyah selama kita tetap bisa menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah.
Perbedaan pendapat menjadi tidak wajar apabila menjurus kepada perselisihan dan
permusuhan, serta melampaui batas-batas dalil kulli.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan
di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Ada
lima hal yang menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat para fuqaha dalam
memahami Al-Qur’an dan Sunnah, yaitu yang berkaitan dengan lafaz, periwayatan,
ta’arudh, ‘urf, dan dalil-dalil yang diperselisihkan.
2.
Perbedaan
pendapat para ulama dalam bidang fiqh tidak memberikan pengaruh yang negatif
sampai ke zaman Imam-Imam mujtahidin karena mereka tahu pasti dimana dimungkinkan
perbedaan pendapat, dan dimana harus terjadi kesepakatan. Dengan demikian
apabila terjadi perbedaan pendapat pada masa itu mereka cukup toleran dan
menghargai pendapat yang lain.Namun, setelah orang fanatik kepada satu mazhab
atau kepada satu pendapat ulama, maka sering perbedaan pendapat ini
mengakibatkan hal-hal yang tidak pada tempatnya. Melampaui batas-batas yang
harus dipegang bersama, merusak persatuan dan kesatuan umat serta ukhuwah
Islamiyah yang dibina oleh Rasulullah SAW.
3.
Hikmah
adanya perbedaan pendapat para ulama yaitu kita dituntut sikap toleran terhadap
kenyataan adanya perbedaan pendapat.
B.
SARAN
Dengan terselesainya makalah ini,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca karena makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi pengetikan
maupun dari segi penyusunan. Dan semoga penyusun dan pembaca dapat mengerti dan
memahami materi dalam makalah ini tentang “Perbedaan
Pendapat Para Ulama dalam Mengistinbatkan Hukum Syar’i”.
DAFTAR
PUSTAKA
Djazuli. 2005. Ilmu Fiqh (Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan
Hukum Islam).
(Edisi revisi). Jakarta: Prenadamedia Group
Koto, Alaiddin.
2014. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.
(Edisi revisi). Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar