Senin, 06 Maret 2017

MAKALAH PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA DALAM MENGISTINBATKAN HUKUM SYAR’I



KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seluruh alam. Yang telah memberikan kami kesempatan dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Salam dan salawat semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, beserta keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya yang setia sampai hari kemudian.
Makalah “Perbedaan Pendapat Para Ulama dalam Mengistinbatkan Hukum Syar’i” ini kami buat dengan maksud untuk menunaikan tugas mata kuliah Ilmu Fikh. Kami berharap penyusunan dalam bentuk makalah ini akan memberi banyak manfaat dan memperluas ilmu pengetahuan kita, khususnya tentang masalah perbedaan pendapat atau paham para fuqaha/ulama dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah. Kami selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan manfaat positif bagi kita semua, khususnya kami selaku penulis.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Gowa, 11 Oktober 2016

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………..                        1
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….                        2
BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG ……………………………………………..                        3
B.     RUMUSAN MASALAH …………………………...……………...                       3
C.     TUJUAN PENULISAN ……………………………….…………...                       4
BAB II PEMBAHASAN
A.    SEBAB-SEBAB PERBEDAAN PENDAPAT ……………….…...                       5
B.     PENGARUH PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA ……..                       12
C.     HIKMAH PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA …………                      13
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN …………………………………………………….                        16
B.     SARAN …………………………………………………………….                        16
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...                        18








BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Perbedaan tidak  pernah bisa dicegah. Ia merupakan sunnatullah yang terjadi secara alami. Perbedaan akan semakin memperindah alam, Sebagaimana pelangi. Warna-warni pelangi justru menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap mata yang melihat. Akan terlihat lucu bila pelangi hanya memiliki satu warna.
Hukum Islam pun demikian, perbedaan pendapat di kalangan mujtahid menjadi sesuatu yang wajar. Karena itu, bersikap arif , bijaksana dan kritis dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut amat dibutuhkan. Pro kontra mujtahid dalam beristinbath, justru semakin mempermudah umat dalam beragama, sebab sejatinya, agama tidak menghendaki umatnya hidup dalam kesulitan. Dari sinilah kemudian rahmat Tuhan bisa dirasakan.
Betapapun sebuah perbedaan, khususnya perbedaan pendapat mujtahid- termasuk sunnatullah yang bersifat alami, tetapi ini tidak berarti bahwa perbedaan tak mempunyai sebab. Perbedaan merupakan akibat, sementara setiap akibat tentu mempunyai sebab. Demikian juga yang terjadi pada perbedaan mujtahid dalam beristinbath. Perbedaan-perbedaan itu tidak muncul begitu saja. Ia muncul karena beberapa faktor, entah itu faktor internal maupun eksternal.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa saja sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para fuqaha dalam mengistinbatkan hukum syar’i ?
2.      Apa pengaruh perbedaan pendapat para ulama dalam memahami hukum syar’i ?
3.      Apa saja hikmah perbedaan pendapat para ulama dalam memahami hukum syar’i ?
C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para fuqaha dalam mengistinbatkan hukum syar’i.
2.      Mengetahui pengaruh perbedaan pendapat para ulama dalam memahami hukum syar’i.
3.      Mengetahui hikmah perbedaan pendapat para ulama dalam memahami hukum syar’i.
4.      Memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqh.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    SEBAB-SEBAB PERBEDAAN PENDAPAT
1.      Hal-hal yang Berkaitan dengan Lafaz
Segenap ulama Islam telah meyakini dan menyepakati Al-Qur’an dan Hadis sebagai pegangan utama dan umat Islam tidak akan tersesat selama-lamanya selama mereka tetap berpegang kepada dua sumber tersebut. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kedua sumber dimaksud terdiri dari lafaz-lafaz bahasa Arab yang dalam suku katanya mempunyai arti banyak, dimana antara arti yang satu dengan yang lain saling bertentangan, atau ada banyak kata tetapi mempunyai arti yang sama. Selanjutnya, ada lafaz yang dari satu sisi dipandang sebagai hakikat, tetapi di sisi lain dianggap sebagai majaz, ada lafaz dalam bentuk mutlaq, dan ada yang muqayyad. Dan, di samping itu lagi, ada yang berbentuk perintah dan ada pula yang berbentuk larangan, dsb.
Di antara lafaz yang mempunyai arti ganda biasa disebut lafaz musytarak, terdapat dalam firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 228 :
            àM»s)¯=sÜßJø9$#uršÆóÁ­/uŽtItƒ£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/spsW»n=rO&äÿrãè%4
            “Dan perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri tiga kali        quru’.”
                                    Lafaz quru’ dalam ayat di atas punya arti ganda: suci dan haid. Karena memang lafaz tersebut digunakan oleh bangsa Arab untuk kedua makna tersebut. Oleh karenanya, sebagian ulama mengartikan quru’ dengan suci, seperti kelompok Syafi’iyah, sehingga mereka mewajibkan iddah wanita yang ditalak tiga kali suci. Sebaliknya kelompok Hanafiyah mengartikan lafaz quru’itu dengan haid, sehingga mereka mewajibkan iddah wanita yang ditalak seperti disebut di atas selama tiga kali haid, bukan tiga kali suci.
                                    Kemudian, ada ulama yang memakai arti lughwydari suatu lafaz dan ada pula yang memakai arti syar’i (epistimologi). Misalnya, lafaz nikah dalam surah An-Nisaa ayat 22 :
Ÿwur(#qßsÅ3Zs?$tByxs3tRNà2ät!$t/#uä
            “Dan janganlah kamu nikahi wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu.”
                                    Menurut lughat (etimologi), nikah berarti persetubuhan, dan menurut syara’ berarti akad. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah yang mengartikan lafaz tersebut dengan makna yang disebut pertama; melarang seseorang kawin dengan wanita yang sudah disetubuhi oleh ayahnya, baik perkawinan itu secara halal atau bukan. Di lain pihak, ulama Syafi’iyah yang mengartikan lafaz nikah itu dengan akad nikah, tidak melarang seseorang kawin dengan wanita yang telah disetubuhi ayahnya secara tidak sah. Perkawinan itu baru terlarang kalau persetubuhan yang dilakukan ayahnya dengan wanita itu adalah persetubuhan yang sah setelah melalui akad nikah.
                                    Begitu juga beberapa bentuk kalimat lainnya, yang oleh keadaan lafaznya sendiri sering membawa pengertian yang berbeda di kalangan ulama.
2.      Hal-hal yang Berkaitan dengan Periwayatan
Kadang-kadang sebuah hadis sampai kepada sebagian imam, lalu mereka beramal dengannya, dan tidak sampai kepada sebagian yang lain, sehingga mereka beramal dengan dalil lain pula. Misalnya, pertikaian ulama tentang kasus wanita yang ditalak tiga suaminya. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 230:
Ÿxsù@ÏtrB¼ã&s!.`ÏBß÷èt/4Ó®LymyxÅ3Ys?%¹`÷ry¼çnuŽöxî3
            “Tidak halal ia bagimu sehingga ia menikah dengan suami lain.”
Sa’id bin Musayyab berpendapat bahwa istri yang ditalak tiga suaminya akan halal kembali bagi suami yang mentalaknya setelah istri itu kawin dengan laki-laki walau suami kedua itu tidak menyetubuhinya. Ulama lain mengatakan baru halal apabila suami kedua tersebut sudah menyetubuhinya, karena ada riwayat lain yang menyatakan :
            “Hingga kamu merasakan madunya, dan Dia merasakan madunya”
Hadis yang disebutkan terakhir ini tidak sampai kepada Sa’id Musayyab sehingga ia tidak beramal dengannya. Tambahannya lagi, nikah dalam pengertian syara’ adalah akad, demikian Sa’id berpendapat.
Kecuali itu, ada hadis yang sampai kepada seorang imam, tapi karena menurut penelitiannya riwayat hadis tersebut lemah, meninggalkannya dan tidak beramal dengannya. Padahal, menurut pendapat ulama yang lain, hadis itu dianggap kuat sebagai hujjah, ia beramal dengan hadis itu.
3.      Hal-hal yang Berkaitan dengan Ta’arudh
Permasalahan Ta’arudh adalah sebab yang paling banyak menimbulkan perbedaan pendapat ulama dibidang hukum Islam. Oleh karenanya, sebelum sampai ke permasalahan pokok, ada baiknya kalau ta’arudh dibicarakan terlebih dahulu walaupun sepintas.
Menurut bahasa, arudh berarti taqabul dan tamanu’ atau bertentangan dan sulitnya pertemuan. Ulama ushul mengartikan ta’arudh ini sebagai dua dalil yang masing-masing menafikan apa yang ditunjuk oleh dalil yang lain. Misalnya, ada ayat yang mewajibkan kita membuat wasiat untuk orang tua dan kerabat (QS. Al-Baqarah : 178). Namun, di lain pihak hadis melarang wasiat itu kepada ahli waris.
Contoh lain adalah tentang membasuh atau menyapu kedua kaki ketika berwudhu. Hal ini terdapat dalam firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 6:
(#qßs|¡øB$#uröNä3ÅrâäãÎ/öNà6n=ã_ör&urn<Î)Èû÷üt6÷ès3ø9$#4
            “Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
Dalam satu qiraat dibaca wa arjulakum sehingga ada ulama yang berpendapat bahwa kaki itu wajib dibasuh ketika berwudhu’. Namun. Dalam qiraat lain dibaca wa arjulikum sehingga ada ulama yang mengatakan bahwa kaki itu cukup disapu saja ketika berwudhu’.
Begitu juga status mani yang menempel di kain. Dalam sebuah hadis, Nabi berkata bahwa mani itu sama hukumnya dengan lendir hidung dan air liur. Namun, di pihak lain ada lagi hadis yang menyatakan bahwa kain perlu dicuci dari lima hal: kencing, berak, darah, muntah, dan mani.
Banyak lagi contoh yang mengungkapkan ta’arudh dalam lafaz nash, sehingga berbeda pendapat dan sikap ulama dalam memahaminya. Namun, perlu dicatat bahwa ta’arudh yang sebenarnya tidak mungkin terjadi dalam diri nashitu sendiri, sebab pertentangan seperti itu kalau benar-benar ada berarti pertentangan dalam diri syar’i, terutama Allah sendiri. Hal ini tentu mustahil adanya karena Allah bersih dari segala macam konflik batin sebagaimana terdapat dalam diri manusia. Oleh sebab itu, ta’arudh disini perlu dipahami sebagai pertentangan dalam nash menurut tanggapan manusia ketika mereka memahami nash itu sendiri. Oleh karena manusia tidak mungkin mengetahui kebenaran hakiki dan mutlak sebagaimana adanya dalam konsep Allah, pertentangan tersebut adalah semata-mata keterbatasan manusia dalam menangkap pesan-pesan syar’i yang sedang mereka pelajari. Dan menyadari keadaan semua ini, para ulama berusaha melepaskan diri dari pertentangan itu dengan menempuh dua jalan.
Pertama, jalan Hanafiyah dan ulama-ulama yang sependapat dengannya. Kelompok ini menempuh jalan pentarjihan, yaitu meneliti dalil mana yang lebih kuat dari dua dalil yang kelihatannya bertentangan tersebut. Yang terkuat di antaranya, itulah yang dipakai. Kelompok ini mendahulukan pentarjihan dari perekonomian.
Kedua, jalan jumhur ulama. Kelompok ini mendahulukan pengompromian dua dalil yang bertentangan itu dari pentarjihannya. Karena, dengan upaya pengompromian itu berarti kita mengamalkan kedua dalil tersebut.
Ulama ushul melihat bahwa ta’arudh tidak hanya terjadi di sekitar ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga di antara dua qiyas antar kaidah-kaidah yang digunakan dan dalil-dalil lain yang menyebabkan pula berbedanya produk hukum yang dihasilkan.
4.      Hal-hal yang Berkaitan dengan ‘Urf
Seperti diketahui masing-masing daerah mempunyai kekhususan, baik adat istiadat, kondisi sosial, iklim, dsb. Semua kekhususan itu cukup berpengaruh kepada masing-masing mujtahid dalam melakukan ijtihadnya. Ada ulama yang membolehkan seseorang guru mengaji menerima upah mengajarkan Al-Qur’an karena tidak ada guru yang mengajar tanpa dibayar. Sementara ulama daerah lain tidak melakukan hal yang sama karena di daerah itu sudah berlaku kebiasaan tidak dibayarnya guru mengaji dan memang banyak guru mengaji seperti itu.
Begitu juga ada imam yang mengatakan najisnya debu di salah satu daerah karena terbiasanya binatang ternak berkeliaran kotorannya tidak tertampung di tempat tertentu, sementara ada imam lain yang mengatakan tidak najisnya debu disebabkan daerah tersebut bukanlah daerah dimana binatang ternak bebas berkeliaran seperti di daerah yang disebut pertama.
5.      Hal-hal yang Berkaitan dengan Dalil-dalil yang Diperselisihkan
Ketika kita berbicara tentang sumber-sumber hukum fiqh telah diungkapkan bahwa dalil-dalil yang disepakati jumhur ulama sebagai sumber hukum Islam ada 4: Al-Qur’an, Hadis, ijma, dan qiyas. Selebihnya seperti istihsan, istishlah, ‘urf, dan lain-lainnya termasuk kepada dalil yang diperselisihkan pemakaiannya. Artinya, para ulama tidak sepakat untuk memakai itu semuanya sebagai sumber hukum. Ada yang memakai istihsan dan ada pula yang menolaknya, dan begitu pula seterusnya. Bahkan, qiyas pun tidak digunakan oleh Al-Zahir. Hal-hal ini semua cukup membuat beragamnya metode istinbat hukum yang dihasilkan walau terhadap kasus tertentu.
Al-Zahir misalnya, mengatakan tikus yang jatuh ke dalam benda cair selain minyak sapi, tidak akan menajiskannya. Sebab hadis Nabi hanya mengatakan najisnya minyak sapi yang dimasuki oleh tikus. Mereka tidak sependapat dengan golongan lainnya yang mengatakan minyak sapi juga sama-sama benda cair. Al-Zahir tidak menerima qiyas sebagai salah satu dalil hukum.
Dalam contoh lain, golongan Malikiyah membolehkan kita membunuh orang Islam yang dijadikan perisai orang kafir untuk menghancurkan Islam, dengan dasar maslahat al-mursalat. Sementara jumhur tidak membolehkan hal tersebut, karena mereka tidak menerima maslahat mursalat sebagai dalil. Dan begitulah seterusnya. Perbedaan itu cukup beragam sesuai dengan beragamnya dalil-dalil hukum yang dipergunakan masing-masing ulama yang berijtihad.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya pula sebagai sebab berbedanya pendapat ulama dalam memahami nash tersebut adalah wawasan keilmuan masing-masing mereka, baik tentang Sunnah Nabi, kaidah uslub-uslub Arab, atau kemampuan daya nalar dan analisisnya serta berbagai faktor lain yang lebih bersifat kemampuan intelektual masing-masing. Namun, terlepas dari itu semua mereka telah memberikan segenap kemampuannya untuk menanggapi kebenaran syariat ilahi. Dan, hanya Allah sendirilah yang berhak menentukan mana di antara mereka yang lebih dekat kepada kebenaran-Nya itu.

Perlu ditekankan disini bahwa di samping perbedaan pendapat banyak pula masalah yang disepakati para ulama, baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan dalil kulli ataupun dalil juz’i. Seperti wajib melaksanakan shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, menunaikan zakat, naik haji bagi yang mampu, wajib melaksanakan keadilan, melaksanakan amanat, wajib memelihara ukhuwah, musyawarah, dll. Haram melakukan pencurian, perampokan, pembunuhan, zina, minuman khamar, menuduh zina, menghina orang, melakukan riba, menipu dalam timbangan dan sukatan, menjadi saksi palsu, dsb.
B.     PENGARUH PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA
Perbedaan pendapat ini sudah terjadi sejak masa Nabi, hanya saja pada zaman Nabi apabila terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat ada yang memberikan keputusan akhir yaitu Nabi sendiri. Dengan demikian, perbedaan pendapat dapat terselesaikan. Umat pun mengikuti keputusan Nabi ini. Pada zaman sahabat, terutama pada zaman Khulafa al –Rasyidin, untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umat selalu dimusyawarahkan oleh khalifah dengan anggota-anggota majelis permusyawaratan. Keputusan musyawarah ini menjadi pegangan umat.
Perbedaan pendapat dalam masalah lainnya yang tidak langsung berkaitan dengan kepentingan umat. Perbedaan pendapat para ulama dalam bidang fiqh ini tidak memberikan pengaruh yang negatif sampai ke zaman Imam-Imam mujtahidin. Mereka tahu pasti dimana dimungkinkan perbedaan pendapat, dan dimana harus terjadi kesepakatan. Dengan demikian apabila terjadi perbedaan pendapat pada masa itu mereka cukup toleran dan menghargai pendapat yang lain. Imam Syafi’i menghargai pendapat Imam Malik dan Imam Malik juga menghargai pendapat Abu Hanifah.
Namun, setelah orang fanatik kepada satu mazhab atau kepada satu pendapat ulama, maka sering perbedaan pendapat ini mengakibatkan hal-hal yang tidak pada tempatnya. Melampaui batas-batas yang harus dipegang bersama, merusak persatuan dan kesatuan umat serta ukhuwah Islamiyah yang dibina oleh Rasulullah SAW. Prof. Hasbi menyatakan: “Apabila kita perhatikan keadaan masyarakat Islam dewasa ini dan sebabnya mereka bergolongan-golongan ditinjau dari segi hukum Islam niscaya nyatalah bahwa di antara sebab-sebab itu ialah perbedaan pegangan, perbedaan panutan, dan perbedaan ikutan. Dan untunglah di tanah air kita Indonesia ini pengaruh perbedaan anutan dan golongan tidaklah meruncing, jika dibandingkan dengan keadaan di luar negeri seperti di India, Persia, dan lain-lain tempat”. Pengaruh negatif dari perbedaan pendapat ini ternyata bisa dinetralisasi dengan pendidikan yang meluaskan wawasan berpikir tentang hukum Islam. Antara lain dengan caramuqaranah al-madzahib dan membaca kitab-kitab Imam Madzhab.
C.    HIKMAH PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA
Perbedaan pendapat tidak akan mengakibatkan pengaruh yang negatif. Bahkan, perbedaan pendapat bisa memberikan hikmah yang besar. Dengan berpikir kritis dan bersikap terbuka terhadap perbedaan pendapat para ulama, maka perbedaan pendapat itu akan memberikan hikmah yang besar.
Kita memiliki sejumlah besar hasil ijtihad yang memungkinkan untuk memilih mana alternatif yang terbaik di antara pendapat para ulama yang bisa diterapkan untuk masa sekarang ini. Cara inilah yang sedang ditempuh para ahli hukum Islam. Sekarang seperti terbukti dalam perkembangan hukum Islam terakhir.
Di samping itu, dengan adanya perbedaan pendapat para ulama, kita akan tahu alasan masing-masing ulama tentang pendapatnya tersebut, sehingga memungkinkan kita untuk mentarjih atau cenderung kepada pendapat yang mempunyai alasan yang lebih kuat. Dengan demikian dari perbedaan pendapat ulama yang ada, dengan melihat kepada cara beristinbat, akan tampak mana pendapat-pendapat yang lebih banyak meraih nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah.
Kita melihat kenyataan bahwa bagaimanapun juga selama diperkenankan ijtihad, maka berarti diperkenankan adanya perbedaan pendapat. Sebab ijtihad mengakibatkan adanya perbedaan pendapat para ulama. Ini berarti dituntut sikap toleran terhadap kenyataan adanya perbedaan pendapat. Kenyataan lain adalah umat Islam pada umumnya yang tidak mampu berijtihad akan mengikuti salah satu pendapat ulama, baik dengan cara Ittiba’ maupun Taklid. Ini bisa dipahami karena umat Islam yang awam mempunyai i’tikad baik untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama. Yang tahu ajaran agama itu adalah ulama (Ahli Agama). Maka, dengan iktikad baiknya itu mereka mengikuti salah seorang ulama. Apalagi mereka sering dengar “Al-‘ulama waratsat al-anbiya” para ulama itu adalah ahli waris para Nabi. Oleh karena itu, kedudukan ulama sangat tinggi di mata mereka. Fatwa ulama pada pandangan mereka sama dengan fungsi dalil pada pandangan mujtahid. Hal ini tampak dari ungkapan: Qaul al-mufi fi haqq al-‘am ka al-adilla fi haqq al-mujtahid.
Sekalipun keharusan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah sudah lama dikumandangkan, dan disepakati oleh seluruh Imam Mazhab, tetapi tampaknya belum ada model thuruq al-istinbath yang baru. Akibatnya, sering terjadi adanya pendapat baru, tetapi jika diteliti ternyata telah ada. Mungkin, ditemukan pada mazhab Hanafi, atau Maliki, atau Syafi’i, Habali, Dhahiri, Syi’i, atau ulama lainnya (Al-Tharabi, Abu Tsawr, Laits bin Sa’ad, dll). Cara beristinbat untuk masalah baru pun ternyata sama dengan salah satu Imam Mazhab. Dhahiri menekankan pada dhahir nash, sedangkan Maliki dan Hanafi lebih menekankan pada kemaslahatan dan semangat ajaran, metode-metode lainnya dalam ilmu Ushul fiqh.
Akhirnya dapat dinyatakan bahwa perbedaan pendapat adalah wajar dalam masalah-masalah ijtihadiyah selama kita tetap bisa menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah. Perbedaan pendapat menjadi tidak wajar apabila menjurus kepada perselisihan dan permusuhan, serta melampaui batas-batas dalil kulli.






BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Ada lima hal yang menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat para fuqaha dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah, yaitu yang berkaitan dengan lafaz, periwayatan, ta’arudh, ‘urf, dan dalil-dalil yang diperselisihkan.
2.      Perbedaan pendapat para ulama dalam bidang fiqh tidak memberikan pengaruh yang negatif sampai ke zaman Imam-Imam mujtahidin karena mereka tahu pasti dimana dimungkinkan perbedaan pendapat, dan dimana harus terjadi kesepakatan. Dengan demikian apabila terjadi perbedaan pendapat pada masa itu mereka cukup toleran dan menghargai pendapat yang lain.Namun, setelah orang fanatik kepada satu mazhab atau kepada satu pendapat ulama, maka sering perbedaan pendapat ini mengakibatkan hal-hal yang tidak pada tempatnya. Melampaui batas-batas yang harus dipegang bersama, merusak persatuan dan kesatuan umat serta ukhuwah Islamiyah yang dibina oleh Rasulullah SAW.
3.      Hikmah adanya perbedaan pendapat para ulama yaitu kita dituntut sikap toleran terhadap kenyataan adanya perbedaan pendapat.
B.     SARAN
Dengan terselesainya makalah ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca karena makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi pengetikan maupun dari segi penyusunan. Dan semoga penyusun dan pembaca dapat mengerti dan memahami materi dalam makalah ini tentang “Perbedaan Pendapat Para Ulama dalam Mengistinbatkan Hukum Syar’i”.

















DAFTAR PUSTAKA
Djazuli. 2005. Ilmu Fiqh (Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam).
(Edisi revisi). Jakarta: Prenadamedia Group
Koto, Alaiddin. 2014. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. (Edisi revisi). Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar