Senin, 06 Maret 2017

MAKALAH SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM TIDAK DISEPAKATI & DISEPAKAT



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
B.  Rumusan Masalah
BAB II    PEMBAHASAN
     A.Dalil Hukum yang Disepakati
A.  Al Qur’an
B.   As-Sunnah
C.   Ijma’
D.  Qiyas
      B.Dalil Hukum yang Tidak Disepakati
E.   IsthisanIsthisab
F.    Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum)
G.  Urf
BAB III PENUTUP
  A.Kesimpulan
B.   Saran
Daftar Pustaka














          BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan suatu hukum.
Dalil-dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang sepakati dan ada juga yang tidak sepakati. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang tidak sepakat hanya sebagian kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas.
Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati adalah Isthisan, isthisab, Maslahah Mursalah, Urf, Mahzab Shahabi, dan syaru man Qoblama. Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi 2 bagian, yang sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum.
Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil hukum yang disepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati, untuk membekali diri kita dalam mengambil sebuah hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu kepada dalil-dalil tersebut atau tidak.Jangan sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai sesuatu hukum.


B. Rumusan Masalah
Adapun remusan masalah dalam judul hukum yang disepakati dan tidak disepakati dapat pemakalah rumusan
1.   Apa saja dalil hukum yang disepakati?
2.   Apa saja dalil hukum yang tidak disepakati?












BAB II
PEMBAHASAN

Hukum (peraturan/norma) adalah suatu hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Dengan adanya Hukum dalam islam berarti ada batasan-batasan yang harus dipatuhi dalam kehidupan. Kerena tidak bisa dibayangkan jika hokum, seseorang akan semaunya melakukan sesuatu perbuatan termasuk perbuatan maksiat.
Syariat Islam diturunkan yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan yakni semua permasalahan dan akibat-akibatnya.
Syatibi mengemukakan dalam maqoshid syariah  bahwa tujuan Allah dalam menetapkan hukum, dengan penjelasan bahwa tujuan hukum itu adalah satu, yakni untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan.
Jadi, tujuan syariat mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat. Karenanya beramal shaleh menjadi tuntutan dunia dan kemaslahatannya merupakan buah dari amal, yang hasilnya akan diperoleh di nanti akhirat. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir”. (Qs. 17:18)

Dasar Hukum Islam Yang Di Sepakati
A. AL-QUR’AN
1.Arti Al-Qur’an
Menurut bahasa kata Al-qur’an adalah bentuk masdar dari kata “qaraa” yang artinya “membaca”. Sedangkan menurut istilah :
“Alqur’anu huwalkitaabul mu’jirul munajjalu al’annabiyya sollallahu alaihi wasallamal maktubu fil massaa hifil manqulu alaihi bittawa turil mutaabbadu bitila watih”
Artinya : “Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Yang termaktub dalam mushaf-mushaf(lembaran-lembaran yang diberi jilid) yang disalin dengan jalan mutawatir yang membacanya bernilai ibadah.”
Dari definisi yang dikemukakan diatas dapatlah dirumuskan bahwa Al-Qur’an adalah:
1.   Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. (melalui Malaikat Jibril)
2.   Berfungsi sebagai mukjizat
3.   Tertulis dalam mushaf
4.   Disampaikan dengan jalan mutawatir
5.   Bernilai ibadah bagi yang membacanya

Dengan demikian, firman Allah yang diturunkan kepada selain Nabi Muhammad saw. tidak termasuk Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad saw. Yang terbesar, diriwayatkan oleh orang banyak sehingga mustahil mereka itu akan bersepakat untuk berdusta. Kemudian apabila kita membacanya dengan niat ikhlas, maka Allah akan menerimanya sebagai suatu ibadah, artinya Allah akan memberikan ganjaran pahala atas bacaan tersebut.
Kata Al-Qur’an banyak dijumpai dalam Al-Qur’an itu sendiri, diantaranya:
1.     Firman Allah surah Qaf ayat 1 :
قٓۚ وَٱلۡقُرۡءَانِٱلۡمَجِيدِ ١
Artinya : “ Qaf. Demi Al-Qur’an yang mulia” (QS. Qaf/50:1)
2.   Firman Allah surah Al-Isra’ ayat 9:
إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرٗا كَبِيرٗا ٩

Artinya: “Sungguh, Al-Qur’an ini memberi petunjuk ke               
(jalan) yang paling Lurus.” (QS. Al-Isra’/17:9)


Dan masih banyak lagi ayat yang didalamnya terdapat kata Al-Quran.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang Al-Quran perlu mengkaji sejarah periode Rasul Saw.dan khulafaurrasyidin. Perhatikan uraian berikut ini!
Al-Qur’an pada Masa Rosulullah
Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi muhammad Saw.pada tanggal 17 Ramadhan bertepatan dengan tangggal 6 agustus 610 M,ketika itu Nabi saw berusia 41 tahun.
Wahyu yang pertama diterima Nabi Muhammad Saw ialah ayat 1-5 surah al-alaq,pada waktu nabi sedang berada di gua hira’.Sedangkan wahyu terakhir yang diterima  Nabi adalah surah Al-Ma’idah ayat 3,pada saat nabi sedang berwukuf di padang arafah melakukan haji wada’ ,yaitu hari jum’at tanggal 9 Zulhijjah tahun kesepuluh hijriah,bertepatan dengan tanggal 7  maret 632 M,atau tahun ke-63 dari kelahiran Nabi Muhammad saw.
Wahyu turun kepada Nabi muhammad secara berangsur-angsur.kadang-kadang turun lima  ayat atau sepuluh ayat.Tapi ada pula satu surah lengkap turun sekaligus,seperti surah Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan sebagainya. Penyampaian Al-Qur’an sacara keseluruhan memakan waktu 23 tahun,yakni 13 tahun waktu Nabi Saw masih tinggal di Mekah(sebelum hijrah) dan 10 tahun waktu dimadinah(sesudah hijrah). Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun sebelum hijrah disebut surah makkiyah (19/30 dari Al-Qur’an) dan yang turun sesudah Nabi Saw hijrah disebut Madaniyah (11/30 dari Al-Qur’an).

Dengan kata lain,masa diturunkannya Al-Qur’an dapat dibagi dalam dua periode,yaitu:
a.   Masa sebelum hijrah
Yakni ketika Rasulullah masih berdiam di Mekah sejak turunnya ayat-ayat pertama kali tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari usia Rasulullah sampai dengan permulaan bulan Rabi’ul Awal tahun ke 54 dari usia beliau.Semua surah-surah dan ayat-ayat yang turun dalam periode ini disebut dengan istilah”Surah-surah atau ayat-ayat makiyah.Ayat-ayat yang turun pada waktu peristiwa hijrahi itu terjadi ,juga termasuk dalam klasifikasi ini.
b.   Masa sesudah hijrah
Yaitu setelah Rasulullah berhijrah dari Mekah ke Madinah, yakni semenjak permulaan bulan Rabi’ul awal tahun ke-54 dari usia Rasulullah sampai dengan tanggal 9 Zulhijjah,tahun ke-10 H,atau tahun ke 63 usia beliau.Semua surah-surah atau ayat-ayat yang turun dalam periode ini disebut dengan istilah ‘surah-surah atau ayat-ayat Madaniyah’.
Al-qur’an pada masa Rasulullah pemeliharaannya melalui dua cara,yaitu dengan Hafalan dan tulisan.
Setiap kali ayat al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Saw.,beliau mengajarkannya dan menyampaikan ayat-ayat itu kepada para sahabat dan beliau menganjurkan kepaa mereka untuk mengahafalkan ayat-ayat tersebut.Untuk mempercepat hafalan mereka,Nabi Saw menganjurkan supaya ayat-ayat itu di baca berulang-ulang dan beliau menetapkan bahwa membaca Al-Qur’an adalah suat ibadah.Dengan demikian tambahlah kegairahan para sahabat untuk menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an itu,sehingga beribu-ribu orang telah menghafalkannya.Tidak sedikit diantara para sabahat yang menghafalkan seluruh ayat-ayat Al-Qur’an baik dari kalangan Muhajjirin maupun Anshar.




Diantara para sahabat yang hafal Al-Qur’an secara keseluruhan ialah:
1.     Abu Bakar
2.     Umar Ibnu Khaththab
3.     Usman bin affan
4.     Ali bin abi Thalib
5.     Thalhah
6.     Sa’ad
7.     Huzaifah
8.     Abu Hurairah
9.     Salim
10.                        Abdullah Ibnu Mas’ud
11.                        Abdullah Ibnu umar
12.                        Amr Ibnu ash
13.                        Abdullah Ibnu Amr
14.                        Muawiyah
15.                        ’aisyah binti Abu Bakar
16.                        Hafsah binti Umar
17.                        Ummu Salamah
18.                        Ubay Ibnu Ka’ab
19.                        Mu’az Ibnu Ka’ab
20.                        Zaid Ibnu Tsabit
21.                        Abu Darda
22.                        Anas bin Malik,dan lain sebagainya.

Agar tidak terjadi kesalahan,maka Rasulullah sering mengoreksi hafalan meraka dengan jalan mereka membacanya di hadapan beliau.Bila terjadi kesalahan,maka Rasulullah segera membetulkannya.Sebaliknya Rasulullah satu tahun sekali membacakan atau menghafalkan ayat-ayat yang sudah diterimanya dihadapan Malaikat Jibril.Menurut keterangan zaid Ibnu Tsabit,pada tahun terakhir sebelum beliau wafat,Jibril melakukan ulangan itu dua kali terhadap Nabi Saw.
Sedangkan pemeliharaan dengan tulisan adalah cara ke-dua setelah hafalan,sebab pada umumnya bangsa Arab pada masa itumasih buta huruf.Sedikit sekali sahabat Nabi yang mampu membaca dan menulis. Sedangkan alat-alat tulisspun masih sederhana, apa yang disebut “kitab” pada masa itu ialah sepotong batu,tulang, pelepah kurma,kulit dan sebagainya yang dapat ditulis.
Jadi, tiap kali ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan, beliau segera menyampaikan dan mengajarkan ayat-ayat itu kepada para sahabat dan menganjurkan untuk dihafal serta menyuruh mereka yang bisa menulis untuk menulisnya.
Nabi Muhammad menunjuk nenerapa sahabat yang pandai tulis
baca sebagai penulis wahyu, antara lain : Abu Bakar, Umar Ibnu
Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Khalid bin Walid. Semua tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ditulis diberbagai benda itu disimpan dirumah Nabi saw. Dalam keadaan masih terpencar-pencar. Ayat-ayatnya belum dihimpun dalam satu mushaf atau suhuf Al-Qur’an.
Kepada para penulis wahyu, Rasulullah memberikan beberapa ketentuan, yaitu:
1.     Ketentuan tentang susunan atau tertib urutan ayat-ayat dalam masing-masing surah
2.     Ketentuan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an saja yang boleh ditulis. Adapun pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari Rasullah, yang kemudian disebut hadis tidak boleh ditulis.
3.     Apabila semua ayat suatu surah telah selesai diturunkan, maka Rasulullah menyuruh mencantumkan “Basmalah” pada permulaan surah sebagai pemisah antara satu surah dengan sura lain, kecuail surah At-Taubah. Dan beliau juga memberi nama bagi surah tersebut.

Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT. Yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad s.a.w. Sebagai sumber hokum dan pedoman hidup bagi pemeluk agama islam, jika dibaca menjadi ibadah kepada Allah.

 2. Maksud dan Tujuan Diturunkannya Al-Qur’an
  1. Untuk memimpin manusia kejalan keselamatan dan kebahagiaan(QS. Al-maidah 15-16):


Artinya : “Wahai ahli kitab! Sumgguh, rosul kami telah datang kepadamu, menjelaskan kepadamu banyak hal dari isi kitab yang kamu sembunyakan, dan banyak pula yang dibiarkannya. Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menjelaskan. Dengan kitab itulah Allah memberikan petunjuk kepada orang yang mengikuti keridaan-Nya kejalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gulita kepada cahaya dengan Izin-Nya, dan menunjukan kejalan yang lurus.”
Dari ayat tersebut diatas dapat dipahami bahwa Allah hendak memimpin manusia kejalan keselamatan dengan mengeluarkannya dari kegelapan kecahaya yang terang-benderang dan untuk


memimpinnya kejalan yang lurus.Dengan demikian jelaslah bahwa
Al-Qur’an diturunkan Allah dengan maksud dan tujuan agar manusia terpimpin kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin baik didunia maupun diakhirat.
2. Memelihara memelihara dan mempertahankan martabatkemanusiaan(QS. AT-Tin ayat 4-6):


Artinya: “Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya.kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan;maka mereka akan mendapatkan pahala yang tidak ada putus-putusnya.”
Al-quran mengajarkan iman dan mengatur amal sholeh itu sesuai dengan kehendak Allah swt. Dengan demikian berarti Al-quran bermaksud dan bertujuan hendak memelihara dan mempertahankan martabat manusia.
3. Memelihara dan mempertahankan kesucian manusia
4.Sebagai petunjuk, pedoman dan rahmat bagi orang-orang yang meyakininya.Sebagaimana dalam firman Allah dalam surah(Al-Jasiyah ayat 20)

هَٰذَا بَصَٰٓئِرُ لِلنَّاسِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ ٢٠
Artinya: “(Al-Qur’an) ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakininya
5.Sebagai pelajaran dan pemahamanSebagaimana dalam Firman Allah dalam(surah Yasin ayat:69)

إِنۡ هُوَ إِلَّا ذِكۡرٞ وَقُرۡءَانٞ مُّبِينٞ ٦٩
Artinya: “ Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang jelas”

3.Proses Turunnya Al-Qur’an
1.Allah menyampaikan pengertian kedalam hati Nabi Muhammadsaw.Atau memimpikannya kelubuk Nabi saw. Ini disebut dengan jalan wahyu.
2.Allah berbicara dengan Nabi saw dibalik hijab. Cara tersebut adalah menyampaikan wahyu yang tidak menggunakan perantara, sama halnya dengan yang pertama diatas.
3Dengan perantara malaikat yang diutus,yaitu Jibril.

4.Manfaat diturunkannya Al-Qur’an
Diantara manfaatnya adalah kehidupan manusia menjadi trbimbing
dengan petunjuk-Nya, dari segi aqidah dapat menjaga kemurnian iman,
dengan kata lain menjadi umat yang menegakkan tauhid. Dari segi
Ubudiyah (ibadah) dapat mengetahui aturan-aturan yang benar sesuai
dengan apa yang dikehendaki Allah sebagai Al-Ma’bud (zat yang
disembah atau di ibadahi). Begitu juga dari segi Muamaliyah (hubungan
sesama manusia) yang harus diperbuat, norma-norma mana yang boleh
dilakukan dan mana yang tidak, mana yang pantas mana yang tidak,
bagaimana cara berprilaku, bertutur sapa dan banyak lagi manfaat lainnya.
Ringkasnya Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk yang mengarahkan
manusia kejalan yang diridhai Allah, sehingga akan tercipta kebahagiaan
dunia dan akhirat.

5. Nama-Nama Lain dari Al-Qur’an
a.Al-Furqan (pembeda)
Dinamai Al-Furqan dengan berdasarkan pada Firman Allah surah Al
Furqan ayat 1 :
 تَبَارَكَٱلَّذِي نَزَّلَ ٱلۡفُرۡقَانَ عَلَىٰ عَبۡدِهِۦ لِيَكُونَ لِلۡعَٰلَمِينَ نَذِيرًا ١
 Artinya : “Maha suci allah yang telah menurunkan furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan pada seluruh alam(jin dan manusia)”
Dinamai Al-Furqan karen iya sebagai pembeda antara yang benar dengan yang salah, antara yang baik dan buruk, serta yang sejati dan palsu.
b.Az-Zikr artinya (peringatan)
Dinamai Az-Zikr sebagaimana dalam firman Allahsurah AL-Hijr ayat 9
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩
Artinya : “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan
pasti kami pula kami yang memeliharanya”

Dinamakan Az-Zikr karena Al-Qur’an diturunkan Allah memang untuk memberi peringatan kepada manusia mengenai hal-hal yang dapat menyelamatkan dan membahagiakan, serta hal yang dapat mencelakakan dan menyengsarakan manusia.
c. Mau’izah (ajaran,nasihat atau tuntunan)
Firman Allah surah yunus ayat 57


يَٰٓأَيُّهَاٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ ٥٧

Artinya : “wahai manusia! sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dan TuhanMu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orangmyang beriman”.

d.Al- Kitab ( kitab)
Firman Allah surah Al-Baqarah 1-2
الٓمٓ ١ذَٰلِكَٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢

Artinya : “Alif lam min. Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.

6.Garis-garis besar isi Al-Qur’an
Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada lima :
a.     Tauhid.
b.     Tuntunan ibadah.
c.      Janji dan ancaman.
d.     Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
e.      Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah.

7.Fungsi dan Kedudukan Al-Qur’an dalam Agama Islam
1.Fungsi Al-Qur’an
1)Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
Hal ini seperti yang dijelaskan Allah dalam QS. Al-Baqarah (2) :2
ذَٰلِكَٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢

Artinya : “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”(QS Al-Baqarah 2:2)
2) Sebagai sumber Hukum
Al-Qur’an sebagai sumber hukum memiliki tiga inti dasar Hukum yakni :
a)   Hukum yang berhubungan dengan masalah akidah
b)   Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah secara lahiriah antara manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungan sekitarnya.
c)   Hukum yang berhubungan dengan akhlak manusia

3)Sebagai pedoman Hidup
Al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman hidup karena memiliki kelebihan dan keistimewaan Al-Qur’an antara lain :
a)   Al-Qur’an mengandung ringkasan ajaran ketuhanan yang pernah dimuat pada kitab sebelumnya.
b)   Al-Qur’an ditujukan kepada semua umat sepanjang masa
c)   AL-Qur’an sebagai  pedoman hidup abadi.
d)   Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa yang sangat indah, mudah dibaca, diingat, dan dipahami.

2. Cara memfungsikan Al-Qur’an dan penerapannya sebagai Pedoman Hidup
Dengan berpegang kepada Al-Qur’an umat islam hidupnya akan terbimbing kejalan yang lurus , dapat membedakan nama yang hak dan mana yang batil, mana yang baik dan mana yang tidak baik, bukan Cuma meyakini saja, tetapi apa yang diperintah, apa yang dilarang misalnya, dengan melaksanakan perintah wajib salat, puasa, zakat,berbuat baik kepada orang tua, sesama umat manusia, dan sebagainya. Begitu juga meniggalkan apa yang dilarang-Nya seperti, larangan berdusta, mencuri, memakan harta secara zalim, minum-minuman keras, menyakiti orang tua, dll. Kalau kita sudah megikuti aturan-aturan dalam Al-Qur’an hidup kita diberkati oleh Allah dan mendapatkan limpahan rahmatnya.
Firman Allah dalam surah Al-An’am 155 :

وَتَمَّتۡ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدۡقٗا وَعَدۡلٗاۚ لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَٰتِهِۦۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُٱلۡعَلِيمُ ١١٥
Artinya: “ini adalah Kitab (Al-Qur’an) yang kami turunkan dengan penuh berkah. Ikutilah,dan bertakwalah agar kamu mendapat rahmat.”(QS. Al-An’am 155)     

8.Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber islam
Allah SWT. Menurunkan Al-Qur’an itu, gunanya untuk dijadikan dasar hukum, dan disampaikan kepada ummat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan segala larangannya, sebagaimana firman Allah:
فاستمسك بالذي أوحى اليك ( الزخرف : 43)
            Artinya : “ maka berpeganglah kepada apa diwahyukan kepadamu”. (Az-Zukhruf ayat 43)


9.Dasar-dasar Al-Qur’an dalam membuat hokum
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada nabi Muhammad untuk jadi petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat  manusia.
Al-Qur’an selalu berpedoman kepada 2 hal yaitu : (1) Tidak memberatkan, dan (2) berangsur-angsur.
1.Tidak memberatkan, Sebagaimana firman Allah :
لا يكلّف الله نفسا الا وسعها ( البقرة : 286)
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (Al-Baqoroh ayat 286)
Dengan dasar-dasar itulah, kita boleh :
a.   Mengqoshor shalat dan menjama’ .
b.   Boleh tidak berpuasa apabila dalam bepergian.
c.   Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu.
d.   Boleh memakan makanan yang diharamkan, jika dalam keadaan memaksa.

2. Berangsur-angsur, Al-Qur’an telah membuat hukum-hukum dengan berangsur-angsur. Hal ini dapat diketahui sebagai berikut :
a.  Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, seperti larangan minum minuman keras dan perjudian, sebagaimana firman Allah :
يسئلونك عن الخمر والميسر قل فيهما اثم كبير ومنافع للناس واثمها اكبر من نفعهما. (البقرة :219)
Artinya :
“ mereka bertanya kepadamu tentang minuman yang memabukkan dan tentang perjudian. Katakanlah olehmu, bahwa minuman yang memabukkan dan perjudian itu dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya”. (S. Al-Baqoroh ayat 219)

lalu datanglah fase yang kedua dari fase mengharamkan khamar itu, yaitu dengan jalan mengharamkannya sesaat sebelum shalat dan bahwa bekas-bekasnya hrus lenyap sebelum shalat, yaitu dengan firman Allah :
ياايها الذين امنوا لاتقربوا الصلاة وانتم سكرى. (النساء : 43)
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati shalat di kala kamu sedang mabuk”. (S. An-Nisa’ ayat 43
Kemudian datanglah fase terakhir yaitu larangan keras terhadap arak dan judi, setelah banyak orang-orang yang telah meninggalkan kebiasaan itu dan sesudah turun ayat yang pertama dan yang kedua. Yaitu firman Allah :
ياايها الذين امنوا انما الخمر والميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون. (المائدة : 90)
Artinya :
”Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenung adalah pekerjaan yang keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu memperoleh kebahagiaan”. (S. Al-Maidah ayat 90)


Demikian Allah membuat larangan secara berangsur-angsur dan sebaliknya dalam pembinaan hukumpun secara berangsur-angsur pula.

10.    Memetik pelajaran dari Al-Qur’an
Selain mengetahui sebab-sebab turunya Al-Qur’an, perlu pula mengetahui cara mengambil pelajaran yang terdapat di dalamnya. terutama yang berhubungan dengan hukum.
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa macam kedudukan ayat, antara lain sebagai berikut :
1. Ada yang perintahnya jelas, tetapi caranya tidak jela. Seperti ayat :
واقيموا الصلاة. البقرة 43
Artinya :
”Dan dirikanlah olehmu shalat”. (S. Al-baqarah ayat 43)
Dalam ayat ini perintah shalat jelas, tetepi cara melaksanakannya tidak disebutkan.

2. Ada yang perintahnya jelas, tetapi ukurannya tidak jelas. Misalnya
واتواالزكاة. البقرة 43
Artinya :
“Dan keluarkanlah olehmu zakat”. (S. Al-baqarah ayat 43)
Ayat ini jelas perintahnya tentang zakat, tetapi ukurannya dan nishabnya tidak diterangkan di dalam ayat ini.

Kalau kita menjumpai ayat-ayat semacam ini, maka perlu sekali adanya penjelasan lebih lanjut. Penjelasan ini tidak ada yang berhak memberikannya, kecuali Nabi Muhammad saw. Sebagaimana firman Allah :
·       وانزلنا اليك الذكرلتبين للناس. النحل 44
Artinya :
“Dan kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia”. (S. An-Nahl ayat 44)

Adz-Dzikru oleh sebagian ulama’ diartikan segala yang datang dari Rasulullah, yaitu sabdanya, perbuatan dan sebagainya yang menjadi tafsir bagi Al-Qur’an, yaitu yang dinamakan “sunnah”.
B. SUNNAH / HADIS
1.Pengertian
Dari segi bahasa hadis artinya perjalanan, pekerjaan cara, khabar berita atau hal yang di beritakan turun-temurun. Adapun menurut istilah, hadis adalahperkataan nabi Muhammad saw., perbuatannya, dan keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh nabi, tiada ditegurnya
sebagai bukti bahwa perbuatan itu tiada terlarang hukumnya. Atau hadis menurut istilah ialah;
“maa udifa linnabiyyi Saw aufi’lam awtaqriran aw nahwaha”.
Artinya: “Segala sesuatu yang bersumber dari nabi muhammad Saw baik perkataan,perbuatan, taqrir (persetujuan) ataupun yang sepadanya.”

Kata lain yang juga di pakai dengan pengertian demikian ialah”sunah”.Arti sunah menurut bahasa ialah jalan,tabiat,kebiasaan,yaitu jalan yang ditempuh atau kebiassan yang di pakai dan di perintahkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Secara umum ulama tidak membedakan antara pengertian hadis dengan sunah.Kedua-duanya mengandung pengertian”ucapan atau perbuatan atau taqrir(persetujuan)Nabi Muhammad Saw” Walaupun demikian dikalangan ulama ada juga yang memberikan perbedaan antara hadis dan sunah.
Hadis diartikan sebagai keterangan-keterangan dari Rasulullah Saw.yang sampai kepada kita.Sedangakan sunah diartikan pada pernyataan yang berlaku pada masa Rasulullah atau telah menjadi tradisi dalam masyarakat islam pada masa itu,dan menjadi pedoman dalam melakukan ibadah dan muamalah.

Hadis atau sunah Rasulullah Saw.adalah sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an.Untuk mengetahui lebih jauh tentang hadis atau sunah perlu kita mengetahui sejarah pembukuan hadis,yaitu hadis pada masa Rasulullah,pada masa khulafaurrasyidin dan pada masa khalifah Ummar Bin Abdul Aziz.

2.Pembagian sunnah atau Hadis
Sunnah itu dibagi menjadi tiga : (1) Sunnah Qouliyah = sabda-sabda Rasulullah; (2) Sunnah Fi’liyah = perbuatan Rasulullah; (3) Sunnah Taqririyah = diamnya Rasulullah atas ucapan atau perbuatan sahabat.
a. Sunnah atau Hadis Qouliyah
Sunnah Qouliyah yaitu perkataan nabi saw. yang menerangkan hukum-hukum agama dan maksud isi Al-Qur’an serta berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan juga menganjurkan akhlaq yang mulia. Sunnah qouliyah (ucapan) dinamakan juga hadits nabi saw.

Sunnah Qouliyah juga disebut “khabar”. Jadi sunnah qouliyah itu boleh dikatakan sunnah, hadits dan khabar. Khabar pada umumnya dapat dibagi tiga :
1.   Yang pasti benarnya,seperti apa yang datang dari Allah,RasulNya dan khabar yang dibeikan dengan jalan mutawatir.
2.   Yang pasti tidak benarnya, yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin dibenarkan oleh akal, seperti khabar mati dan hidup dapat berkumpul.
3.   Khabar yang tidak dapat dipastikan benar bohongnya seperti khabar-khabar yang samar,karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang kuat, benarnya atau bohongnya.

b.Sunnah atau Hadis Fi’liyah
Sunnah Fi’liyah yaitu perbuatan nabi saw. yang menerangkan cara melaksanakan ibadah, misalnya cara berwudhu, shalat dan sebagainya.
Sunnah Fi’liyah itu terbagi sebagai berikut :
1.   Pekerjaan nabi saw. yang bersifat gerakan jiwa, gerakan hati, gerakan tubuh, seperti : bernafas, duduk, berjalan dan sebagainya. Perbuatan seperti ini tidak bersangkut-paut dengan soal hukum, dan tidak ada hubungannya dengan suruhan larangan atau tauladan.
2.   Perbuatan nabi saw. yang bersifat kebiasaan, seperti : cara-cara makan, tidur dan sebagainya. Perbuatan semacam ini  pun tidak ada hubungannya dengan perintah, larangan, dan tauladan. kecuali kalau ada perintah anjuran nabi untuk mengikuti cara-cara tersebut.
3.   Perbuatan nabi saw. yang khusus untuk beliau sendiri, beristri lebih dari empat. Dalam hal ini orang lain tidak boleh mengikutinya.
4.   Pekerjaan yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal, seperti: shalatnya, hajjinya, yang kedua-duanya menjelaskan sabdanya :
صلواكمارأيتمونى اصلى
Artinya :
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”.
خذوا مناسككم
 Artinya :
“Ambillah dari padaku hal-hal (pelakuan) ibadah hajjimu”.
Hukum perbuatan tersebut  sama dengan hukum apa yang dijelaskan, baik wajib maupun mandubnya.
5.   Pekerjaan yang dilakukan orang lain sebagai hukuman, seperti: menahan orang,atau mengusahakan milik orang lain.
6.   Pekerjaan yang menunjukkan kebolehan saja, seperti: berwudhu dengan satu kali, dua kali dan tiga kali.


c.Sunnah atau Hadis Taqririyah
Sunnah Taqririyah yaitu bila nabi saw. mendengar sahabat mengatakan sesuatu perkataan atau melihat mereka memperbuat suatu perbuatan, lalu ditetapkan dan dibiarkan oleh nabi saw. dan tiada ditegurnya atau dilarangnya, maka yang demikian dinamai sunnah ketetapan Nabi (taqrir).
Maka perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu sama saja dengan perkataan dan perbuatan Nabi sendiri, yaitu dapat menjadi hujjah bagi ummat seluruhnya.
Syarat sahnya taqrir ialah orang yang dibiarkannya itu benar-benar orang yang tunduk kepada syara’, bukan orang kafir atau munafiq.
Contoh-contoh taqrir antara lain sebagai berikut:
1.   Mempergunakan uang yang dibuat oleh orang kafir.
2.   Mempergunakan harta yang diusahakan mereka seketika masih kafir.
3.   Membiarkan dzikir dengan suara keras sesudah shalat.

3.Pembukuan Hadis
a.Hadis Pada masa Rasulullah Saw
Ketika Rasulullah Saw masih hidup beliau melarang orang untuk menulis dan mencatat sesuatu dari beliau.Kebijaksanaan itu sangat penting agar seluruh isi Al - Qur’an dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya sebagai wahyu Allah semata,tidak tercampur dengan perkataan Nabi Saw sendiri.
Yang diperintahkan untuk dicatat hanya wahyu saja.Selain dari itu dilarang.seluruh hadis pada masa Rasulullah berada dalam hafalan dan ingatan para sahabat saja.
Namun demikian,ada beberapa orang yang sempat mencatat hadis nabi Saw.dan mereka itu adalah orang-orang yang benar-benar dapat menjamin tidak akan mencmpur adukan antara Al-Qur’an dengan hadis Nabi Saw.Misalnya,ucapan Rasulullah ketika Abdullah Ibnu Amr’ash bertanya kepada beliau:
“Uktub anni awalladji nafsi biyadihi ma kharaja min fami illa haqun”
Artinya: “tulislah apa yang anda dengar dari padaku.demi tuhan yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya,tidak keluar dari mulutku selain kebenaran”           
Dari uraian diatas kita ketahui bahwa larangan mencatat hadis ditujukan kepada umum,dan ada ijin yang diberikan kepada orang-orang tertentu. 


b. Hadis Pada Masa Khulafaurrasyidin
Telah dikemukakan bahwa pembukuan Al-Qur’an dimuali sejak masa khalifah Abu Bakar dengan perhatian yang sangat besar dari
para sahabat,sedagkan hadis dimasa ini belum terbukukan secara meluas.Hal ini disebabkan karena belum memperoleh perhatian sepenuhnya dari kalangan sahabat.bahkan Ummar bin Khattab pernah melarang untuk memperbanyak riwayat hadis.
Upaya para sahabat dalam melestarikan hadis pada awalnya dengan cara menghafal apa-apa yang diucapkan Nabi Saw dan melihat apa yang diperbuatnya.Pada walnya nabi Saw melarang penulisan hadis,baru pada akhir-akhir dari kehidupan Rasulullah larangan itu dicabut.
Kemudian pada awal khalifah Ali bin Abi Thalib,hadis mulai mengalami perkembangan yang kurang menggembirakan,karena mulai timbu hadis-hadis palsu,yakni ucapan atau buah pikiran seseorang yang diakui seolah-olah dari nabi Saw.Tapi berkat upaya penyelidikan para muhadisin (ahli hadis) yang penuh ketekunan hal ini dapat diatasi.
c. Hadis Pada Masa Khalifah Ummar Bin Abdul Aziz
Periode penulisan dan kodifikasi hadis secara resmi berlangsung pada masa khalifah Ummar bin Abdul Aziz yaitu pada akhir abad pertama hijriah(99-102 H/717-720 M).
Khalifah yang dikenal jujur dan mempunyai minat yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan itu mengambil kebijaksanaan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.Kalifah melihat kenyataan bahwa penghafal hadis semakin berkurang jumlahnya,karena meninggal, dsb. Tumbuh rasa khawatir pada diri khalifah,apabila hadis tidak segera dikumpulkan, maka berangsur-angsur akan hilang. Rasa khawatir itulah yang menyebabkan khalifah memerintahkan gubernur madinah supaya membukukan hadi nabi. Dan beliaupun mengirim surat kepada setiap gubernur untuk mengambil langkah serupa didaerah mesing-masing.




C. IJMA’
1.Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa, artinya : sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah, ialah :
اتّفاق مجتهدى امّة محمّد صلى الله عليه وسلّم بعد وفاته فى عصر من الاعصار على امر من الامور.

Artinya :
“Kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat, pada masa tertentu tentang masalah tertentu”.
Dari pengertian diatas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatan orang-orang semasa dengan nabi tidaklah disebut sebagai ijma’.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju atau sepakat sebagai ijma’, namun pendapat jumhur, ijma’ itu disyaratkan setuju paham mujtahid (ulama) yang ada pada masa itu.Tidak sah ijma’ jika salah seorang ulama dari mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya.Selain itu, ijma’ ini harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak boleh didasarkan kepada yang lainnya.
Contoh mengenai ijma’ antara lain ialah menjadikan as-Sunnah sebagai salah satu sumber islam. Semua mujtahid dan bahkan semua umat islam sepakat (ijma’) menetapkan as-Sunnah sebagai salah satu sumber hukum islam.
Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dengan tiga cara, yaitu :
1.   Dengan ucapan (Qouli),
2.   dengan perbuatan (Fi’li),
3.   dengan diam (sukut)

2. Macam-macam Ijma’
1.   Ijma’ Ummah
2.   Ijma’ Sahaby
3.   Ijma’ Ahli Madinah
4.   Ijma’ Ahli Kufaah
5.   Ijma’ Khalifah yang empat
6.   Ijma’ Syaikhany
7.   Ijma’ Ahli Bait


3. Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma' dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum islam dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat dzhanny. Golongan syi'ah memandang bahwa ijma' ini sebagai hujjah yang harus diamalkan.Sedang ulama-ulama Hanafi dapat menerima ijma' sebagai dasar hukum, baik ijma' qath'iy maupun dzhanny.Sedangkan ulama-ulama Syafi'iyah hanya memegangi ijma' qath'iy dalam menetapkan hukum.


penetapan ijma' sebagai sumber hukum islam ini antara lain adalah :
Firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 59 :
يايهاالذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الأمر منكم ( النساء : 59)
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu".
Yang dimaksud "ulil amri" ialah orang-orang yang memerintah dan para ulama.Menurut hadits:
لاتجتمع أمّتى على الضّلالة
Artinya:
            "Ummatku tidak bersepakat atas kesesatan".

    Menurut sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri fid-dunya, yaitu penguasa, dan Ulil Amri fid-din, yaitu mujtahid. Sebagian ulama lain menafsirkannya dengan ulama.
Ijma' ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar'iy, yaitu setelah Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma' dapat dijadikan alternatif dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Qu'an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.

4. Sebab-sebab Dilakukan Ijma'
Di antara sebab-sebab dilakukannya ijma' ialah :
a.   Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Qur'an dan as-Sunnah tidak diketemukan hukumnya.
b.   b.Karena nash baik yang berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah sudah tidak turun lagi atau telah berhenti.
c.   c.Karena pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah dikoordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukum persoalan permasalahan yang timbul pada saat itu.
d.   d.Di antara para mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih mudah dipersatukan.

D.QIYAS
1.Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan, atau mempersamakan sesuatu dengan lainnya dikarenakan adanya persamaan. Sedang menurut istilah qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash dengan


mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash.
Berbeda dengan ijma', qiyas bisa dilakukan oleh individu, sedang ijma' harus dilakukan bersama oleh para mujtahid.

2.Kedudukan Qiyas sebagai sumber hukum Islam
Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat sesudah Al-Qur'an, Hadits dan Ijma'.
Mereka berpendapat demikian dengan alasan:
Firman Allah :
فاعتبروا يااولى الابصار. ( الحسر : 2)
Artinya:
"Hendaklah kamu mengambil i'tibar (ibarat = pelajaran) hai orang-orang yang berfikiran". (S. Al-Hasyr ayat 2)
Karena i'tibar artinya "qiyasusysyai-i bisysyai-i : membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain".

3.Rukun Qiyas
Rukun qiyas ada empat
a.     Ashal (pangkal) yang menjadi ukuran.
b.     Far'un (cabang) yang diukur
c.      'Illat, yaitu sifat yang menghubungkan pangkal dan cabang.
d.     Hukum, yang ditetapkan pada far'i sesudah tetap pada ashal.


4.Macam-macam Qiyas
Qiyas ini ada empat macam :
a.   Qiyas aulawi (lebih-lebih)
Qiyas aulawi ialah yang 'illatnya sendiri menetapkan adanya hukum.
b.   Qiyas musawi (bersamaan 'illatnya)
Qiyas musawi ialah 'illatnya sama dengan 'illat qiyas aulawi.
c.   Qiyas dilalah (menunjukkan)
Qiyas dilalah ialah yang 'illatnya tidak menetapkan hukum.
d.   Qiyas syibh (menyerupai)
Qiyas syibh ialah mengqiyaskan cabang yang diragukan di antara kedua pangkal ke mana yang paling banyah menyamai.
5.Sebab-sebab Dilakukan Qiyas
a.Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Qur'an dan as-Sunnah tidak diketemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma'.
b.Karena nash, baik berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah telah berakhir dan tidak turun lagi.



c.Karena adanya persamaan 'illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nash.

Hukum Islam yang Tidak Di Sepakati
A.IJTIHAD
1. Pegertian dan Peranan Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari اجتهد -  يجتهد -  اجتهاد   “bersungguh-sungguh, rajin, giat”.
Kemudian dikalangan para ulama’ perkataan “ijtihad” ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (fiqih) untuk mengetahui hukum syari’at.Jadi dengan demikian, ijtihad itu ialah perbuatan menggali hukum syar’iyyat dari dalil-dalilnya yang terperinci dalam syari’at.Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Imam Ghozali mendefinisikan ijtihad sebagai usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at. Dalam batasan lain dikatakan :
الإجتهاد هو استفراغ الوسع فى نيل حكم شرعىّ بطريق الإستنباط من الكتاب والسّنّة.
Artinya :
”Ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istimbat (mengeluarkan hukum) dari kitab dan sunnah.

Ijtihad sebagaimana dijelasakan di atas mempunyai peranan yang sangat penting dalam penetapan status hukum suatu masalah yang belum ada hukumnya secara rinci baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak diketemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut.Dengan ijtihad masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya.


2. Macam-macam ijtihad
Ijtihad sari segi obyek kajiannya, menurut syatibhi, dibagi menjadi dua yaitu :
a)Ijtihad Istinbathi
Adalah ijtihad yang dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat dalam meneliti  dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung didalamnya. Dan hasil dari ijtihad tersebut kemudian dijadikansebuah tolak ukur untuk setiap permasalahan yang dihadapi
b) Ijtihad tathbiqi


Jika ijtihad istimbathi dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat, maka ijtihad tathbiqi dilakukan dengan permasalahan kemudian hukum produk dari ijtihad istinbathi akan diterapkan.
3. Objek ijtihad
Menurut Imam Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qoth’i (lafadz Al-Qur’an itu hanya menunjukan suatu arti tertentu) dan hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni (lafadz Al-Qur’an yang memungkinkan makna lain dari satu makna tertentu), serta hukum-hukum yang belum ada nash nya dan ijma para ulama.
4. Hukum Ijtihad
Menurut Syekh Muhammad Khudlaribahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi :
a. Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah, dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui.
b.Wajib Kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedang selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.
c.Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.

5. Syarat-syarat Ijtihad
Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang.Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi.Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi dua, yaitu syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus dan syarat pelengkap.
a.Syarat-syarat Umum
1.   Baligh
2.   Berakal sehat
3.   Memahami masalah
4.   Beriman.

b. Syarat-syarat Khusus
1. Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis.
2.Mengetahui sunnah-sunnah nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis.
3.Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam.
4.Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah.
5.Mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab.
6.Mengetahui ilmu ushul fiqih.

7.Mengetahui ilmu mantiq.
8.Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah asliah.
9.Mengetahui soal-soal ijma’.

c.Syarat-syarat pelengkap
1.Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
2.Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama’ dan yang akan mereka sepakati.
3Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlaq.

6. Tigkatan-tingkatan Mujtahid
Tingkatan ini sangat bergantung pada kemampuan, minat, dan aktifitas yang ada pada mujtahid itu sendiri. Secara umum tingkatan mujtahid ini dapat dikelompokkan menjadi :
a.    Mujtahid Mutlak atau Mustaqil.
b.    Mujtahid Muntasib.
c.    Mujtahid Fil Mazahib.
d.   Mujtahid Murajjih.

B.MASHALIHUL MURSALAH
1. Pengertiannya
Mashalih bentuk jama' dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan.Mursalah berarti terlepas.Dengan demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas.Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka.
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah.Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat.Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي).Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat” .
Seperti dijelaskan diatas bahwa maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at (ushulul khomsah).
Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak غير مقيد yaitu maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak


adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hokum.
2.  Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
Menurut Abdul Wahab Kallaf menyatakan bahwa Jumhur Ulama Ummat Islam berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah adalah Hujjah Syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash atau Ijma’ atau qiyas, ataupun Isthisan disayri’atkan kepadanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syara’”.
Akan tetapi masih banyak juga yang menolak mengenai kehujahan Maslahah Mursalah mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak ada bukti syar’I yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.
Yang jelas mentarjihkan pendasaran pembentukan hukum atas maslahah mursalah dapat dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam dan akan berhenti mengikuti perjalanan situasi dan kondisi serta lingkungan.
Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul mursalah sebagai sumber hukum.:
1.   Jumhur ulama menolaknya sebagai sumber hukum
2.   Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat manusia.
3.   Pembinaan Hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
4.   Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak.

Namun menurut Imam Syafi'i boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil kully atau dalil juz'iy dari syara. Pendapat kedua ini berdasarkan :
a)   Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya.
2)   Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari'.
5.   Dalam Al-Qur'an dan hadits, tidak ada nash yang memerintah pengumpulan mushaf Al-Qur'an tetapi oleh ummat Islam hal ini dilakukan, tiada lain ialah karena mengingat maslahat ummat.
6.   Dalam pernikahan mengadakan pensyaratan adanya surat nikah, untuk sahnya gugatan, nafkah dan pembagian pusaka.

3. Syarat-syarat Berpegang Kepada Mashalihul Mursalah
1.   Maslahat itu harus jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
2.   Maslahaat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
3.   Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nash atau ijma'.

C. SADDUDZ DZARI'AH
1. Pengertiannya
Dyara'i jamak dari kata dzari'ah artinya jalan.Saddudz dzari'ah berarti menutup jalan.Menurut istilah ulama Ushul Fiqih bahwa yang di sebut dengan dzari'ah ialah menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan.
2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
1)   Menurut Imam Malik, jalan-jalan yang mendatangkan kerusakan itu harus dihindarkan.
2)   Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits nabi saw. dikatakan :
دع مايربك الى مالايربك

Artinya:
"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".


A.ISTISHAB
1. Pengertiannya
Secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.

Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang, selama tidak terdapat hukum yang mengubahnya.

2. Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1)   Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-. Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas
2)   Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan \


ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu
3)   Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan. 

3. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata ”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.
Jumhur ulama mengatakan bahwa istishab dapat dijadikan pegangan sebagai hujjah, karena dalam sejarah kehidupan manusia sudah terbiasa dan menjadi kekuatan hukum bila berpegang kepada hukum yang berlaku sebelumnya.

Dari prinsip-prinsip ini ditetapkan kaidah-kaidah fiqih sebagai berikut:
a. Asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya :
الاصل بقاء ماكان على ماكان
Artinya :
"Pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya".

b. Apa yang telah diyakini adanya, tidak hilang karena adanya keragu-raguan.
ما ثبت باليقين لايزول بالشّك
Misalnya seorang yang telah berwudlu kemudian dia ragu-ragu, apakah wudlunya sudah batal atau belum, maka wudlunya tetap ada (tidak batal).

c. Asal hukum sesuatu adalah ibahah (boleh), sampai ada dalil yang mengharuskan meninggalkan hukum tersebut.
الاصل فى الاشياء الاباحة
Misalnya asal hukum akad jual beli itu boleh.
Sebagian ulama berpendapat, terutama golongan Hanafiyah mengatakan bahwa istishab itu hanya berlaku bila dipergunakan untuk menolak.
4.‘URF
1. Pengertiannya
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.

Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun meninggalkan.Menurut ahli syara' urf bermakna adat, atau antara urf dan adat itu tidak ada perbedaanya.Diantara contoh urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan shighat.Contah urf Qouly ialah orang telah mengetahui bahwa kata ar-rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan.
2. Macam-macam Urf dan Hukumnya
Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a.Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
b.Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a)   Urf shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari'at, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini diperbolehkan dan bahkan harus dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti mendatangkan maslahat bagi manusia.
b)   Urf Fasid, yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan syari'at, atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini hukumnya haram, sebab bertentangan dengan ajaran agama.
Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a)   Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b)   Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.

Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam antara lain:
a.   Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
b.   Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
c.   Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.

3. Kedudukan Urf sebagai sumber hokum
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nas.
5. ISTIHSAN
1. Pengertiannya
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik.Sedang menurut istilah Ahli Ushul yang dimaksud istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat istisna'y (pengecualian), karena ada dalil syara' yang menghendaki perpindahan itu.

Dari pengertian di atas jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu :
a)   Menguatkan qiyas khafy atas qiyas jaly dengan dalil. Misalnya menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur'an berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas.
Qiyas: Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur'an, maka orang yang haid juga haram membaca Al-Qu'an.
Istihsan: Haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama. Karena itu, wanita yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur'an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apa pun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
b)   Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan) berdasarkan Istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kully, syara' melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.

2. Khilafah Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan mazhabnya.Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu.Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.”Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan  “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.”
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara” dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara” yang umum.
3. Kehujjahan Istihsan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang.Sedangkan bentuk yang kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi Isthisan”.
4.  Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan :
1)   Jumhur ulama menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.
2)   Golongan Hanafiyah membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka, berhujjah dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyar khafy yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau menguatkan satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang menghendaki penguatan itu.





















BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam penyajian makalah ini makadapat kami simpulkan bahwa hukum islam itu ada yang disepakati dan ada juga yang tidak disepakati.
Adapun hukum islam yang disepakati a.l: Alqur’an, Hadis / Sunnah, Ijma’, Qiyas. Dan hukum islam yang tidak disepakati a.l: Ijtihad, Mashalihul Mursalah, Saddudz Dzari’ah, Istishab,  ‘Urf, Istihsan. Inilah hukum-hukum Islam yag ada  baik yang disepakati maupun tidak menurut ilmu fiqh.

B. Saran
Untuk mengetahui hukum-hukum Islam yang tepat hendaklah kita benar-benar mengetahui apa yang menjadi landasan hukum itu saran pemakalah setiap perlakuan hendaklah memiliki dasar yang kuat agar tidak terjadi kekeliruan dikemudian hari



























Daftar Pustaka
1.   Pendidikan agama  islam Al-Qur’an dan hadis, PT. Karya putra toha semarang Indonesia, 2008
2.   Umam, Khairul, A, Achyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 1998
3.   As Syafi’I Karim, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999
4.   Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1998.




                                                                                                                               

1 komentar:

  1. Casino-King Review - Casino-King - Mapyro
    Casino-King is 강원도 출장마사지 a high-tech 남원 출장안마 gaming casino and 화성 출장샵 is situated in 포항 출장샵 the heart of Bali, Thailand. The gaming operator provides an extensive range of casino  Rating: 8/10 · ‎Review 대전광역 출장샵 by MyVegasBiz.com

    BalasHapus