OBJEK BAHASAN USHUL FIQIH
STATE ISLAMIC UNIVERSITY
ALAUDDIN
MAKASSAR
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok dalam
mata kuliah ilmu Fiqih semester I jurusan pendidikan Agama Islam Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan
UIN Alauddin Makassar
OLEH:
Kelompok II
ANDI NURFADHIL
ULFA MUHFITA
SRI WAHYUNI
NURMALA KHAIR
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
I.
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Untuk
mendalami satu disiplin ilmu, lebih dulu perlu diketahui apa yang menjadi objek
pembahasannya dan sisi mana saja dari objek bahasan tersebut yang akan dikaji.
Demikian halnya untuk mempelajari ushul fikh, perlu diketahui objek
pembahasannya. Objek bahasan setiap ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang
dibahas dalam ilmu itu tentang sifat-sifat yang berhubungan atau bisa
dihubungkan dengan sesuatu itu.
Ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang
mempelajari tentang kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan sebagai metodelogi untuk
memperoleh hukum-hukum syara’ yang bersifat peraktis dari dalil yang rinci.
Pokok bahasan dalam ilmu ushul fiqh ini adalah dalil-dalil syara’ yang secara
garis besar yang di dalamnya terkandung hukum-hukum secara garis garis besar
pula.
Sedangkan
sumber hukum syara' ialah dalil-dalil syar'iyah (al-Adillatusy Syar'iyah) yang
daripadanya diistinbathkan hukum-hukum syar'iyah. Pengetahuan Fiqh itu lahir
melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh.Menurut aslinya
kata "Ushul Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab
"Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh.
Ushul
fiqh terasa penting terasa penting bilamana dihadapkan pada
masalah-masalah yang hukumnya tidak terdapat dalam pembahasan fiqh lama.
Disamping itu, dengan maraknya para peminat hukum islam yang melakukan
perbandingan madzhab bahkan untuk mengetahui mana pendapat yang lebih kuat,
serta adanya upaya untuk memperbaharui hukum islam, semakin terasa betapa
pentingnya melakukan studi ushul fiqh.Makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu, keritik dan saran anda yang dapat
memutivasi saya tunggu.
B.RAMUSAN
MASALAH
1.
jelaskan
definisi objek pembahasan ilmu ushul fiqh..?
2.
Apa saja
objek pembahasan dalam ilmu ushul fiqh..?
C.
TUJUAN
PENULISAN
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk menkaji, objek pembahasan ushul fiqh dan mamfaat
mempelajarinya lebih dalam lagi. Semuga dengan mempelajari ini dapat menambah
pengetahuan kita” amin”.
II.
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN OBYEK
PEMBAHASAN USHUL FIQIH
Ushul fikh adalah dua kata yang secara istilah mengandung arti
kumpulan kaedah-kaedah yang bersifat kulliyah (universal) yang menjadi landasan
metodologis penetapan hukum-hukum fikih dari dalil-dalil syariat. Dengan
demikian, ushul fikh merupakan instrumen dalam mengetahi banar-salahnya suatu
ketetapan hukum, atau untuk mengetahui kekuatan argumen dari seorang mujtahid
dalam menetapkan hukum serta perbedaannya dengan argumen lainnya yang juga
datangnya dari seorang mujtahid.
Objek pembahasan ilmu ushul fiqh adalah dalil syari’ yang bersifat
umum ditinjau dari segi ketetapan-ketetapan hukum yang bersifat umum pula. Jadi
seorang pakar ilmu ushul membahas tentang qiyas dan kehujjahannya,tentang dalil
‘Amm dan yang membatasinya,dan tentang perintah (amr) dan dalalahnya,demikian
seterusnya.
B.
OBYEK
PEMBAHASAN DALAM USHUL FIKH
Dalam sistematika penyusunan pokok-pokok bahasan terdapat perbedaan
yang disebabkan perbedaan arah dan penekanan dari beberapa pokok bahasan
tersebut.
Menurut Abdullah bin Umar
al-Baidlawi ada tiga masalah pokok yang akan dibahas dalam ushul fikh,
yaitu tentang sumber dan dalil hukum, tentang metode istinbath, dan tentang ijtihad.
Menurut Abdullah bin Umar al-Baidlawi kajian tentang hukum (al-hukm) diletakkan
pada bagian pendahuluan. Sedangkan Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H), ahli
ushul fiqh dari kalangan syafi’iyah meletakkan pembahasan tentang hukum bukan
pada pendahuluan, melainkan pada bagian pertama masalah-masalah pokok yang akan
dibahas dalam ushul fiqh. Berpegang kepada pendapat Al-Ghazali tersebut, maka
objek bahasan ushul fiqh terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1.
Pembahasan
tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkum fih,
dan mahkum ‘alaih.
2.
Pembahasan
tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum
3.
Pembahasan
tentang cara mengistinbathkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu
4.
Pembahasan
tentang ijtihad
Secara global muatan kajian ushul fiqh seperti dijelaskan diatas
menggambarkan objek bahasan ushul fiqh dalam berbagai literatur dan aliran,
meskipun mungkin terdapat perbedaan tentang sistematika dan jumlah muatan dari
masing-masing bagian tersebut.
Meskipun yang menjadi objek bahasan ushul fiqh ada empat seperti
dikemukakan di atas, namun Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya al-Wasith Fi ushul
al-Fiqh menjelaskan bahwa yang menjadi inti dari objek kajian ushul fiqh adalah
tentang dua hal, yaitu dalil-dalil secara global dan tentang al-ahkam
(hukum-hukum syara’).Selain dua hal tersebut, dipaparkan oleh para ulama ushul
fiqh yang hanya sebagai pelengkap. Lalu aspek mana saja dari kedua objek
bahasan tersebut yang dikaji dalam ushul fiqh?. Dalil-dalil syara’ dikaji dari
segi tetapnya sifat-sifat esensialnya. Misalnya, Al-Qur’an adalah kitab suci
dan menjadi sumber bagi ketetapan hukum syara’. Al-amr (perintah) yang terdapat
di dalam Al-Qur’an menunjukkan hukum wajib. Sebuah teks (nash) yang tegas
menunjukkan pengertiannya secara pasti (qath’i), lafal umum yang sudah
ditakhshish sebagian cakupannya, sisanya berlalu secara tidak pasti (zhanny).
Dalam contoh-contoh di atas, Al-Qur’an dikaji dari segi kompetensinya dalam
menetapkan hukum, teks (nash) yang tegas dikaji dari segi kepastian
pengertiannya menunjukan hukum, dan lafal umum yang sudah ditakhshish sebagian
cakupannya dikaji dari segi ketidakpastian penunjukannya terhadap sisa cakupan
pengertiannya mengenai hukum.
Begitulah setiap teks ayat atau hadis dalam berbagai macam bentuk
dan karakteristiknya dikaji sedemikian rupa sehingga akan membuahkan
kesimpulan-kesimpulan yang diluruskan dalam bentuk kaidah-kaidah umum. Kemudian
hukum syara’ dijelaskan secara panjang lebar, baik dari segi konsepnya maupun
dari segi bagaimana ia bisa ditetapkan melalui dalil-dalil syara’. Dari sisi
ini kelihatan hubungan erat antara hukum dan dalil-dalil syara’. Sebuah
ungkapan menarik dalam hal ini adalah apa yang dikemukakan oleh Abu Ishaq
al-Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat fi ushul al-syari’ah. Ia
mengatakan:”setiap kajian yang dirumuskan dalam ushul fiqh yang tidak bisa
dibangun diatasnya hukum fiqh, atau adab sopan santun syara’, atau tidak
membantu untuk pembentuk-an hal-hal tersebut, maka meletakkan hal seperti itu
dalam ushul fiqh adalah sia-sia.
Secara umum, sesuai dengan keterangan pengertian ushul fikh, maka
yang menjadi objek pembahasannya meliputi:
a.
الادلة: Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum
Pembahasan
tentang dalil dalam ushul fikh adalah secara global, di sini dibahas tentang
macam-macamnya, rukun atau syarat
masing-masing dari macam-macam dalil itu, kekuatan dan tingkatan-tingkatannya.
Jadi di dalam ilmu ushul fiqh tidak dibahas satu persatu dalil bagi setiap
perbuatan.
(a).Mutafaq
‘alaih(yaitu dalil yang di sepakati)
(b).mukhtalaf
hadis (Yaitu hadist hadist yang masih di perdebatkan ke shohihannya)
b.
الاحكم
ما يتعلق فيه : Pembahasan tentang hukum syara’ dan
yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkum bih, mahkum fih, dan mahkum
‘alaih.
Pembahasan tentang hukum dalam ilmu ushul fiqh adalah secara umum,
Tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasn tentang
hukum ini meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya.
Yang menetapkan hukum (al-hakim), orang yang dibebani hukum (al-mahkum ‘alaih),
syarat-syarat ketetapan hukum (al-mahkum bih), dan macam-macamnya dan
perbuatan-perbuatannya ditetapi hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.
1) Yang menetapkan hukum/al hakim ( yaitu Allah SWT). "Inna al hukmu illalloh".
Q.S. al An'am. A.57
2) Obyek hukum atau perbuatan yang dihukumkan/mahkum fih, yaitu
perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dihukumkan padanya, sebagai akibat dari
bermacam isi dan maksud yang terkandung dalam firman Allah dan sabda Nabi Muhammad
SAW.
3) Subyek hukum atau yang menanggung hukumnya/mahkum 'alaih, yaitu
orang mukallaf, dimana perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah.
Seperti misalnya, firman Allah "aqimus sholah."/dirikan shalat.
Perintah ini ditujukan kepada orang mukallaf yang dapat mengerjakan shalat,
bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang gila. Hak-hak Allah maupun hak-hak
manusia, bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada orang yang
mempunyai kemampuan. Karenanya kemampuan orang mukallaf menjadi dasar adanya taklif/pertanggungan
jawab.
c.
طريقة الاستنبط : Pembahasan tentang cara/kaidah
mengistinbathkan hukum syara’ dari sumber –sumber dan dalil yang mengandungnya.
Adalah daya usaha membuat keputusan hukum syarak berdasarkan dalil-dalil al-Quran atau Sunnah yang sedia ada. Pembahasan tentang
kaedah (= teori yang diambil dari atau menghimpun masalah-masalah fiqih yang
bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid), yaitu yang digunakan sebagai
jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya, antara lain mengenai
ragamnya, kehujahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.
Metode istinbat yang dibahas dalam bagian ini adalah dari
metode-metode istinbath secara keseluruhan. Bagian ini khusus membicarakan
metode bila mana dalam pandangan mujtahid terjadi pertentangan antara dalil
yang satu dengan dalil yang lain. Seperti yang dikemukakan oleh abd al-rahim
al-isnawi, mendahulukan dalil yang tegas atas dalil yang tidak tegas
pengertiannya, mendahulukan hadis yang mutawatir atas hadis yang tidak
mutawatir, dan lain-lain yang umumnya dibahas dalam kajian ta’arud al-adillah
(dalil-dalil yang bertentangan) dan metode tarjih (cara mengetahui mana yang
lebih kuat sehingga harus didahulukan).
d.
الاجتهاد
:
Pembahasan tentang ijtihad
Adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan
oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara
yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal
sehat dan pertimbangan matang Pembahasan tentang ijtihad, yaitu pembicaraan
tentang berbagai hal, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad,
tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kacamata ijtihad dan hukum-hukum
melakukan ijtihad.
Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya,
syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan
orang dilihat dari kacamata ijtihad dan hukum melakukan ijtihad.
Dalam membicarakan sumber hukum, dibicarakan pula kemungkinan terjadinya
benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula tentang
orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metode dalam
melahirkan hukum syara’ tersebut. Hal ini memunculkan pembahasan tentang
ijtihad dan mujtahid. Kemudian membahas mengenai tindakan dan usaha yang dapat
ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kemungkinan berijtihad
atau pembahasan tentang taklid dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
Dalam ushul
fikh inilah dibahas bagaimana para mujtahid mencapai kesepakatan menyangkut
sumber-sumber hukum fikh, dan di mana letak perbedaan pandangan mereka. Seperti
diketahui, bahwa para mujtahid telah menyepakati Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma
sebagai sumber utama penetapan hukum fikih . Adapun sumber-sumber lain, ada
yang hampir di sepakati secara umum seperti qiyas, dan hanya sekolampok kecil
menolaknya, dan ada pula yang tetap menjadi perselisihan dikalangan para
mujtahid. Sumber macam terahir ini adalah istihasan, istishlah ( mashlahah
mursalah ), syariat sebelum islam, fatwah sahabat, saddu al-dzari’ah dan
istishhab.
Pembahasan
tentang sumber-sumber hukum fikih di atas, banyak di kaitkan dengan pembahasan
tentang al-hakim atau al-syari’ (pencipta syari’at), dalam hal ini adalah Allah
swt dan rasul-Nya. Berkaitan dengan ini, lahirlah pembahasan tentang peranan
akal sebagai salah satu sumber ijtihadiy
dalam berfikih. Selanjutnya di bahas pula mengenai al-mahku’alaih (mukkallaf),
yang berkaitan pula dengan pembahasan istitha’ah (daya mukallaf) dan niat
(kesengajaannya) dalam berbuat dan al-mahkum
bih (amal-amal perbuatan ) mukallaf itu sendiri.
Pembahasan
tentang hukum, yang kemuadian di bedakan antara hukum taklif ( wajib, mandub,
haram, makruh dan mubah ) dan hukum wadha’iy, yakni hukum yang timbul karna
pertalian antara dua obyek hukum atau lebih. Pembahasan tentang ini pula
melahirkan pengetahuan tentang syarat-syarat suatu amal (syarth), sebab-sebab
adanya tuntutan melakukan amal ( sabab), sebab- sebab terhalangnya suatu amal (
mani’) sah dan batalnya suatu amal, adanya rukhshah ( kemudahan ) meninggalkan
amal-amal tertentu.
Di samping itu,
hal yang tak kalah pentingnya di bahas dalam ushul fikih ialah thuruq al-istinbhath
( metode istinbaht ), yang secara mendasar ada dua macam, yakni istinbhat
berdasarkan lafazh dan istinbat berdasarkan makna. Dalam membahas mengenai hal
ini, terkait dengan upava mujtahid menganalisis kejelasan dan ketidakjelasan
suatu dalil sehingga lahir istilah qath’iy dan zhanniy, pembahasan mengenai
bentuk dilalah dari lafazh-lafazh itu sendiri yang melahirkan istilah ‘ ibarah,
isyarah, mafhum muwafaqah, mafum mukhalafah, dan dilalah iqtidha”. Demikian
pula pembahasan mengenai ruang cakupan suatu dalil yang dibagi dalam empat
macam, yakni dalil’ am dan khas, muthlaq dan muqayyad. Termasuk pula pembahasan
mengenai lafazh adalah taklif ( shighat al-taklif) yang didukun oleh dalil,
yang secara garis besarnya adalah awamir ( dalil-dalil yang mengandung
perintah), nawahiy ( dalil-dalil yang mengandung larangan) dan ibaha. Dalam
kaitan inilah timbul penetapan hukum
fiqh yang meliputi : wajib, mandub, haram, makruh, mubah.
Dalam ushul
fiqh dibahas pula sifat-sifat mujtahid, yakni diantaranya mujtahid yang
melakukan ijtihad secara mutlak tanpa terikat oleh pendapat mujtahid lain dan
tanpa membatasi wilayah ijtihadnya, seperti yang dilakukan oleh empat mazhab
besar ( Abu Hanifah, Malik, Al-Svafi’iy, dan Abu Ahmad Ibn Hanbal) : adapula
yang berijthad tetapi terkit dalam satu mazhad : adapula yang berijtihad
menyangkut sebahagian masalah fiqh saja sedang pada masalah lainnya mengikuti
mazhab tertentu.
Dari keterangan di atas, jelas bahwa yang yang menjadi objek
bahasan ushul fiqh adalah sifat-sifat esensial dari berbagai macam dalil dalam
kaitannya dengan penetapan sebuah hukum dan sebaliknya segi bagaimana tetapnya
suatu hukum dengan dalil. Dalil-dalil atau kaidah-kaidah serta hukum itu
dikemukakan secara global, tanpa masuk kepada rinciannya, karena rinciannya,
seperti dikemukakan sebelumnya, dibahas dalam ilmu fiqih oleh mujtahid.
Untuk menjelaskan terhadap hal ini, saya akan membuat beberapa
contoh berikut :
Al-qur’an
adalah dalil syar’i yang pertama bagi setiap hukum. Nash-nash yang
ditasyri’iyyah tidaklah dalam satu bentuk saja,akan tetapi diantaranya ada yang
datang dalam bentuk amar (perintah) ada pula yang dalam bentuk nahi
(larangan),dan ada pula yang dalam bentuk umum atau mutlak. Bentuk perintah,
larangan, bentuk umum, dan bentuk mutlak merupakan beberapa macam yang bersifat
umum dari aneka macam dalil syar’i yang umum pula, yaitu: al-qur’an. Jadi
seorang ahli ushul fikh membahas terhadap setiap macam dari aneka macam ini
supaya ia dapat sampai kepada bentuk hukum yang menjadi dalalahnya, dimana
dalam membahasnya ia mempergunakan penyelidikan
tentang uslub-uslub bahasa arab dan pemakaian hukum syara’.
Kemudian
apabila melalui pembahasannya itu, ia sampai kepada kesimpulan bahwa bentuk
perintah menunjukkan pengertian pewajiban, shighat larangan menunjukkan
pengertian pengharaman, shighat umum menunjukkan pengertian tercakupnya semua
satuan-satuan pada dalil umum secara
pasti, dan bentuk mutlak menunjukkan tehadap tetapnya hukum secara mutlak, maka
ia membuat beberapa kaidah sebagai berikut:
-
Perintah adalah
untuk pewajiban (اَلْاَمْرُلِلاْءِيْجَابِ)
-
Larangan adalah
untuk pengharaman ( اَلنَّحْىُ
لِـتَّحْرِ يْمِ)
-
Sesuatu yang
umum mencakup seluruh satuan-satuannya secara pasti
( الْعَا مُّ يَنْتَظِمُ جَمِيْعَ اَ فْرَادِهِ قَطْعًا)
-
Sesuatu yang
mutlak menunjukkan terhadap satuan secara merata tanpa batasan.
( اَلْمُطْلَقُ يَدُ لُّ عَلَى اْلفَرْدِ الشَّا ئِعِ بِغَيْرِ قَيِّدٍ)
Kaidah-kaidah umum tersebut maupun lainnya yang telah dicapai oleh
ahli ilmu ushul fiqh melalui pembahasannya sampai dengan penetapannya itu
diambil oleh ahli fiqh sebagai kaidah yang diterima dan ia terapkan terhadap
bagian-bagian dalil umum, supaya ia dapat sampai kepada hukum syara’ yang
berkenaan dengan perbuatan manusia secara rinci. Jadi faqih menerapkan kaidah:
“perintah menunjukkan pengertian pewajiban” terhadap firman Allah SWT.:
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْآاَوْفُوْابِالْعُقُوْدِ ( المائدة : 1 )
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…”
(QS.Al-Maidah : 1)
Dan ia menetapkan bahwa memenuhi akad adalah wajib hukumnya. Ia
juga menerapkan kaidah bahwa “larangan menunjukkan pengharaman” terhadap firman
Allah SWT.:
يَآاَيُّهَالَّذِيْنَاَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ
مِنْ قَوْمٍ ( الحجرات : 11 )
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-olokkan kaum yang lain…”. (
QS.Al-Hujurat : 11)
Kemudian ia memutuskan bahwa mengolok-olokkan suatu kaum terhadap
kaum lainnya adalah haram hukumnya.
Ia juga dapat menerapkan kaidah : "
( قَطْعًااَلْعَامُّ
يَنْتَظِمُ جَمِيْعَ اَفْرَادِهsesuatu yang
umum mencakup seluruh satuan-satuannya secara pasti )” terhadap firman Allah SWT. :
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ اُمَّهَاتُكُمْ(النساء : 23)
Artinya :
“Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu….”. (QS.An-Nisa’ :
23)
Selanjutnya ia menetapkan bahwa semua ibu diharamkan. Dan ia juga
dapat menerapkan kaidah (
اَلْمُطْلَقُ يَدُلُّ عَلَى اَىِّ
فَرْدٍ)
“sesuatu yang mutlak menunjukkan terhadap satuan manapun” terhadap firman Allah SWT. tentang kaffarat
zhihar :
فَتَحْرِيْرُرَقَبَةٍ( المجادلة : 3 )
Artinya :
“… maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak…”.
(QS.Al-Mujadilah : 3)
Kemudian ia menetapkan bahwa didalam kaffarat zhihar cukup dengan
memerdekakan seorang budak, baik muslim maupun non muslim.
Dari uraian tersebut, maka jelaslah perbedaan antara dalil kulli
(umum) dan dalil juz’I (detail), dan jelas pula perbedaan antara hukum kulli
dan hukum juz’i.
Jadi dalil kulli adalah suatu bentuk umum dari berbagai dalil, yang
didalamnya terkandung sejumlah dalil juz’I (detail) seperti : amar (perintah),
nahi (larangan), ‘amm, mutlak, ijma’ sharih (yang nyata), ijma’ sukuti (tidak
nyata), qiyas yang illatnya tercantum dalam nash, dan qiyas yang illatnya
diistimbathkan. Amar merupakan dalil kulli yang dibawahnya terkandung seluruh
bentuk yang disampaikan dalam bentuk amar. Nahi merupakan dalil kulli yang
dibawahnya termasukseluruh bentuk yang disampaikan dalam bentuk nahi
(larangan). Demikian seterusnya. Amar (perintah) merupakan dalil kulli dan nash
yang datang dalam bentuk amar merupakan dalil juz’i. nahi (larangan) merupakan
dalil kulli, sedangkan nash yang datang dalam bentuk larangan adalah dalil
juz’i.
Adapun hukum kulli, maka ia adalah sesuatu bentuk umum daripada
hukum, yang dibawahnya termasuk sejumlah bagian-bagian, seperti ijab
(pewajiban), tahrim (pengharaman), shihhah (shah), dan buthlan (batal). Ijab
merupakan suatu hukum kulli yang didalamnya tercakup pewajiban memenuhi
berbagai perjanjian, pewajiban adanya beberapa saksi dalam perkawinan, dan
pewajiban hal yang wajib lainnya. Tahrim (pengharaman) juga merupakan hukum
kulli yang didalamnya terkandung pengharaman zina dan pencurian dan pengharaman
apa saja yang diharamkan. Demikian pula sah dan batal. Dengan demikian, ijab
(pewajiban) merupakan hukum kulli dan pewajiban perbuatan tertentu merupakan
hukum juz’i.
Ahli ilmu ushul fiqih tidak
akan membahas mengenai dalil-dalil juz’iyyah, tidak pula mengenai hukum-hukum
juz’iyyah yang ditunjukinya; akan tetapi ia hanya membahas terhadap dalil kulli
dan hukum kulli yang ditunjukinya, supaya ia dapat membuat kaidah-kaidah umum
bagi pengertian berbagai dalil, agar diterapkan seorang faqih terhadap
dalil-dalil juz’iyyah untuk menghasilkan hukum yang rinci. Seorang faqih tidak
membahas mengenai dalil kulli maupun hukum kulli yang ditunjukinya, akan tetapi
ia hanyalah membahas mengenai dalil juz’I dan hukum juz’I yang ditunjukinya.
III.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Jadi Obyek
utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah
Syar'iyah (dalil
dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Diantaranya
adalah:
a. Pembahasan
Tentang Sumber-sumber dan Dalil-dali Hukum
b. Pembahasan
Tentang HukumSyara’ dan Yang Berhubungan Dengannya, Seperti Hakim,
Mahkum fih, dan Mahkum ‘alaih
c.
Pembahasan
Tentang Cara Mengistinbatkan Hukum Dari Sumber-sumber dan Dalil
d.
Pembahasan
Tentang Ijtihad
DAFTAR PUSTAKA
DR. MISBAHUDDIN, USHUL FIQH I, MAKASSAR-ALAUDDIN
UNIVERSITY PRESS, DESEMBER 2013.HLM.5.
PROF.DR.H.AMIR SYARIFUDDIN, USHUL FIQH JILID I, JAKARTA:
LOGOS WACANA ILMU, 1997. HLM. 41.
PROF.DR.H.HAMKA HAQ, PENGARUH TEOLOGI DALAM USHUL FIQH,
MAKASSAR: ALAUDDDIN UNIVERSITY PRESS, 2013. HLM.74.
PROF. ABDUL WAHHAB KHALLAF, KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM
(ILMU USHULUL FIQH), JAKARTA: PT.RAJA GRAFINDO PERSADA, 2000. HLM. 3.
PROF.Dr.H.SATRIA EFFENDI, USHUL FIQH, JAKARTA: PT. FAJAR
INTERPRATAMA MANDIRI, 2005. HLM. 11-13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar