DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB
II PEMBAHASAN
A.Dalil Hukum yang Disepakati
A. Al Qur’an
B. As-Sunnah
C. Ijma’
D. Qiyas
B.Dalil Hukum yang Tidak Disepakati
E. IsthisanIsthisab
F. Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum)
G. Urf
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan
B.
Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak
diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam dalil hukum atau metode
ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan suatu hukum.
Dalil-dalil hukum tersebut para jumhur ulama
ada dalil hukum yang sepakati dan ada juga yang tidak sepakati. Dalil hukum
yang disepakati adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas tetapi antara Ijma
dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang tidak sepakat
hanya sebagian kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas.
Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati
adalah Isthisan, isthisab, Maslahah Mursalah, Urf, Mahzab Shahabi, dan
syaru man Qoblama. Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan
dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka
disinilah terjadi 2 bagian, yang sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak
sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum.
Tentunya kita sebagai ummat Islam harus
mengetahui mana saja dalil hukum yang disepakati dan mana saja dalil hukum yang
tidak disepakati, untuk membekali diri kita dalam mengambil sebuah hukum,
apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu kepada dalil-dalil
tersebut atau tidak.Jangan sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai sesuatu
hukum.
B. Rumusan
Masalah
Adapun remusan masalah
dalam judul hukum yang disepakati dan tidak disepakati dapat pemakalah rumusan
1.
Apa saja dalil hukum
yang disepakati?
2.
Apa saja dalil hukum
yang tidak disepakati?
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum (peraturan/norma) adalah suatu hal yang
mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan tingkah
laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa
kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau
norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Dengan adanya Hukum dalam islam berarti ada
batasan-batasan yang harus dipatuhi dalam kehidupan. Kerena tidak bisa
dibayangkan jika hokum, seseorang akan semaunya melakukan sesuatu perbuatan
termasuk perbuatan maksiat.
Syariat Islam diturunkan yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan yakni semua permasalahan dan akibat-akibatnya.
Syariat Islam diturunkan yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan yakni semua permasalahan dan akibat-akibatnya.
Syatibi mengemukakan dalam maqoshid syariah
bahwa tujuan Allah dalam menetapkan hukum, dengan penjelasan bahwa tujuan hukum
itu adalah satu, yakni untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia
baik cepat maupun lambat secara bersamaan.
Jadi, tujuan syariat mencakup kemaslahatan dunia
dan akhirat. Karenanya beramal shaleh menjadi tuntutan dunia dan
kemaslahatannya merupakan buah dari amal, yang hasilnya akan diperoleh di nanti
akhirat. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang
(duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki
bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia
akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir”. (Qs. 17:18)
Dasar Hukum Islam Yang Di Sepakati
A. AL-QUR’AN
1.Arti Al-Qur’an
Menurut bahasa kata Al-qur’an adalah bentuk
masdar dari kata “qaraa” yang artinya “membaca”. Sedangkan menurut istilah :
“Alqur’anu huwalkitaabul mu’jirul munajjalu
al’annabiyya sollallahu alaihi wasallamal maktubu fil massaa hifil manqulu
alaihi bittawa turil mutaabbadu bitila watih”
Artinya : “Al-Qur’an adalah firman Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Yang termaktub dalam
mushaf-mushaf(lembaran-lembaran yang diberi jilid) yang disalin dengan jalan
mutawatir yang membacanya bernilai ibadah.”
Dari definisi yang dikemukakan diatas
dapatlah dirumuskan bahwa Al-Qur’an adalah:
1.
Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. (melalui Malaikat Jibril)
2.
Berfungsi sebagai mukjizat
3.
Tertulis dalam mushaf
4.
Disampaikan dengan jalan mutawatir
5.
Bernilai ibadah bagi yang membacanya
Dengan demikian, firman Allah yang
diturunkan kepada selain Nabi Muhammad saw. tidak termasuk Al-Qur’an. Al-Qur’an
adalah mukjizat Nabi Muhammad saw. Yang terbesar, diriwayatkan oleh orang
banyak sehingga mustahil mereka itu akan bersepakat untuk berdusta. Kemudian
apabila kita membacanya dengan niat ikhlas, maka Allah akan menerimanya sebagai
suatu ibadah, artinya Allah akan memberikan ganjaran pahala atas bacaan
tersebut.
Kata Al-Qur’an banyak dijumpai dalam
Al-Qur’an itu sendiri, diantaranya:
1. Firman
Allah surah Qaf ayat 1 :
قٓۚ
وَٱلۡقُرۡءَانِٱلۡمَجِيدِ ١
Artinya
: “ Qaf. Demi Al-Qur’an yang mulia” (QS. Qaf/50:1)
2.
Firman Allah surah Al-Isra’ ayat 9:
إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ
يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرٗا كَبِيرٗا ٩
Artinya: “Sungguh,
Al-Qur’an ini memberi petunjuk ke
(jalan)
yang paling Lurus.”
(QS. Al-Isra’/17:9)
Dan masih banyak lagi ayat yang didalamnya
terdapat kata Al-Quran.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang
Al-Quran perlu mengkaji sejarah periode Rasul Saw.dan khulafaurrasyidin.
Perhatikan uraian berikut ini!
Al-Qur’an pada Masa Rosulullah
Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi
muhammad Saw.pada tanggal 17 Ramadhan bertepatan dengan tangggal 6 agustus 610
M,ketika itu Nabi saw berusia 41 tahun.
Wahyu yang pertama diterima Nabi Muhammad
Saw ialah ayat 1-5 surah al-alaq,pada waktu nabi sedang berada di gua
hira’.Sedangkan wahyu terakhir yang diterima Nabi adalah surah Al-Ma’idah
ayat 3,pada saat nabi sedang berwukuf di padang arafah melakukan haji wada’
,yaitu hari jum’at tanggal 9 Zulhijjah tahun kesepuluh hijriah,bertepatan
dengan tanggal 7 maret 632 M,atau tahun ke-63 dari kelahiran Nabi
Muhammad saw.
Wahyu turun kepada Nabi muhammad secara
berangsur-angsur.kadang-kadang turun lima ayat atau sepuluh ayat.Tapi ada
pula satu surah lengkap turun sekaligus,seperti surah Al-Fatihah, Al-Ikhlas,
Al-Falaq, dan sebagainya. Penyampaian Al-Qur’an sacara keseluruhan memakan
waktu 23 tahun,yakni 13 tahun waktu Nabi Saw masih tinggal di Mekah(sebelum
hijrah) dan 10 tahun waktu dimadinah(sesudah hijrah). Ayat-ayat Al-Qur’an yang
turun sebelum hijrah disebut surah makkiyah (19/30 dari Al-Qur’an) dan yang
turun sesudah Nabi Saw hijrah disebut Madaniyah (11/30 dari Al-Qur’an).
Dengan kata lain,masa diturunkannya
Al-Qur’an dapat dibagi dalam dua periode,yaitu:
a.
Masa sebelum hijrah
Yakni ketika Rasulullah masih berdiam di
Mekah sejak turunnya ayat-ayat pertama kali tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41
dari usia Rasulullah sampai dengan permulaan bulan Rabi’ul Awal tahun ke 54
dari usia beliau.Semua surah-surah dan ayat-ayat yang turun dalam periode ini
disebut dengan istilah”Surah-surah atau ayat-ayat makiyah.Ayat-ayat yang turun
pada waktu peristiwa hijrahi itu terjadi ,juga termasuk dalam klasifikasi ini.
b.
Masa sesudah hijrah
Yaitu setelah Rasulullah berhijrah dari
Mekah ke Madinah, yakni semenjak permulaan bulan Rabi’ul awal tahun ke-54 dari
usia Rasulullah sampai dengan tanggal 9 Zulhijjah,tahun ke-10 H,atau tahun ke
63 usia beliau.Semua surah-surah atau ayat-ayat yang turun dalam periode ini
disebut dengan istilah ‘surah-surah atau ayat-ayat Madaniyah’.
Al-qur’an pada masa Rasulullah pemeliharaannya
melalui dua cara,yaitu dengan Hafalan dan tulisan.
Setiap kali ayat al-Qur’an diturunkan
kepada Nabi Saw.,beliau mengajarkannya dan menyampaikan ayat-ayat itu kepada
para sahabat dan beliau menganjurkan kepaa mereka untuk mengahafalkan ayat-ayat
tersebut.Untuk mempercepat hafalan mereka,Nabi Saw menganjurkan supaya
ayat-ayat itu di baca berulang-ulang dan beliau menetapkan bahwa membaca
Al-Qur’an adalah suat ibadah.Dengan demikian tambahlah kegairahan para sahabat
untuk menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an itu,sehingga beribu-ribu orang telah
menghafalkannya.Tidak sedikit diantara para sabahat yang menghafalkan seluruh
ayat-ayat Al-Qur’an baik dari kalangan Muhajjirin maupun Anshar.
Diantara para sahabat yang hafal Al-Qur’an
secara keseluruhan ialah:
1. Abu
Bakar
2. Umar
Ibnu Khaththab
3. Usman
bin affan
4. Ali
bin abi Thalib
5. Thalhah
6. Sa’ad
7. Huzaifah
8. Abu
Hurairah
9. Salim
10.
Abdullah Ibnu Mas’ud
11.
Abdullah Ibnu umar
12.
Amr Ibnu ash
13.
Abdullah Ibnu Amr
14.
Muawiyah
15.
’aisyah binti Abu Bakar
16.
Hafsah binti Umar
17.
Ummu Salamah
18.
Ubay Ibnu Ka’ab
19.
Mu’az Ibnu Ka’ab
20.
Zaid Ibnu Tsabit
21.
Abu Darda
22.
Anas bin Malik,dan lain sebagainya.
Agar tidak terjadi kesalahan,maka
Rasulullah sering mengoreksi hafalan meraka dengan jalan mereka membacanya di
hadapan beliau.Bila terjadi kesalahan,maka Rasulullah segera
membetulkannya.Sebaliknya Rasulullah satu tahun sekali membacakan atau
menghafalkan ayat-ayat yang sudah diterimanya dihadapan Malaikat Jibril.Menurut
keterangan zaid Ibnu Tsabit,pada tahun terakhir sebelum beliau wafat,Jibril
melakukan ulangan itu dua kali terhadap Nabi Saw.
Sedangkan pemeliharaan dengan tulisan
adalah cara ke-dua setelah hafalan,sebab pada umumnya bangsa Arab pada masa
itumasih buta huruf.Sedikit sekali sahabat Nabi yang mampu membaca dan menulis.
Sedangkan alat-alat tulisspun masih sederhana, apa yang disebut “kitab” pada
masa itu ialah sepotong batu,tulang, pelepah kurma,kulit dan sebagainya yang
dapat ditulis.
Jadi, tiap kali ayat-ayat Al-Qur’an
diturunkan, beliau segera menyampaikan dan mengajarkan ayat-ayat itu kepada
para sahabat dan menganjurkan untuk dihafal serta menyuruh mereka yang bisa
menulis untuk menulisnya.
Nabi Muhammad menunjuk nenerapa sahabat
yang pandai tulis
baca sebagai penulis wahyu, antara lain :
Abu Bakar, Umar Ibnu
Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Khalid bin Walid. Semua tulisan
ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ditulis diberbagai benda itu disimpan dirumah
Nabi saw. Dalam keadaan masih terpencar-pencar. Ayat-ayatnya belum dihimpun
dalam satu mushaf atau suhuf Al-Qur’an.
Kepada para penulis wahyu, Rasulullah
memberikan beberapa ketentuan, yaitu:
1. Ketentuan
tentang susunan atau tertib urutan ayat-ayat dalam masing-masing surah
2. Ketentuan
bahwa ayat-ayat Al-Qur’an saja yang boleh ditulis. Adapun pelajaran-pelajaran
yang mereka dengar dari Rasullah, yang kemudian disebut hadis tidak boleh
ditulis.
3. Apabila
semua ayat suatu surah telah selesai diturunkan, maka Rasulullah menyuruh
mencantumkan “Basmalah” pada permulaan surah sebagai pemisah antara satu surah
dengan sura lain, kecuail surah At-Taubah. Dan beliau juga memberi nama bagi
surah tersebut.
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT. Yang merupakan mu’jizat yang
diturunkan kepada nabi Muhammad s.a.w. Sebagai sumber hokum dan pedoman hidup
bagi pemeluk agama islam, jika dibaca menjadi ibadah kepada Allah.
2. Maksud
dan Tujuan Diturunkannya Al-Qur’an
1. Untuk
memimpin manusia kejalan keselamatan dan kebahagiaan(QS. Al-maidah 15-16):
Artinya
: “Wahai ahli kitab! Sumgguh, rosul kami telah datang kepadamu,
menjelaskan kepadamu banyak hal dari isi kitab yang kamu sembunyakan, dan
banyak pula yang dibiarkannya. Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah
dan kitab yang menjelaskan. Dengan kitab itulah Allah memberikan petunjuk
kepada orang yang mengikuti keridaan-Nya kejalan keselamatan, dan (dengan kitab
itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gulita kepada cahaya dengan
Izin-Nya, dan menunjukan kejalan yang lurus.”
Dari ayat tersebut diatas dapat dipahami
bahwa Allah hendak memimpin manusia kejalan keselamatan dengan mengeluarkannya
dari kegelapan kecahaya yang terang-benderang dan untuk
memimpinnya kejalan yang lurus.Dengan
demikian jelaslah bahwa
Al-Qur’an diturunkan Allah dengan maksud
dan tujuan agar manusia terpimpin kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin baik
didunia maupun diakhirat.
2. Memelihara memelihara dan mempertahankan
martabatkemanusiaan(QS. AT-Tin ayat 4-6):
Artinya: “Sungguh,
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.kemudian kami
kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya.kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan kebajikan;maka mereka akan mendapatkan pahala yang
tidak ada putus-putusnya.”
Al-quran mengajarkan iman dan mengatur amal
sholeh itu sesuai dengan kehendak Allah swt. Dengan demikian berarti Al-quran
bermaksud dan bertujuan hendak memelihara dan mempertahankan martabat manusia.
3. Memelihara dan mempertahankan kesucian
manusia
4.Sebagai petunjuk, pedoman dan rahmat bagi
orang-orang yang meyakininya.Sebagaimana
dalam firman Allah dalam surah(Al-Jasiyah
ayat 20)
هَٰذَا بَصَٰٓئِرُ
لِلنَّاسِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ ٢٠
Artinya: “(Al-Qur’an)
ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakininya”
5.Sebagai pelajaran dan pemahaman. Sebagaimana dalam Firman Allah dalam(surah Yasin ayat:69)
إِنۡ
هُوَ إِلَّا ذِكۡرٞ وَقُرۡءَانٞ مُّبِينٞ ٦٩
Artinya: “ Al-Qur’an itu tidak lain
hanyalah pelajaran dan kitab yang jelas”
3.Proses Turunnya Al-Qur’an
1.Allah menyampaikan pengertian kedalam hati
Nabi Muhammadsaw.Atau memimpikannya
kelubuk Nabi saw. Ini disebut dengan jalan wahyu.
2.Allah berbicara dengan Nabi saw dibalik
hijab. Cara tersebut adalah menyampaikan wahyu yang tidak menggunakan
perantara, sama halnya dengan yang pertama diatas.
3Dengan perantara malaikat yang diutus,yaitu
Jibril.
4.Manfaat diturunkannya
Al-Qur’an
Diantara
manfaatnya adalah kehidupan manusia menjadi trbimbing
dengan
petunjuk-Nya, dari segi aqidah dapat menjaga kemurnian iman,
dengan
kata lain menjadi umat yang menegakkan tauhid. Dari segi
Ubudiyah
(ibadah) dapat mengetahui aturan-aturan yang benar sesuai
dengan
apa yang dikehendaki Allah sebagai Al-Ma’bud (zat yang
disembah
atau di ibadahi). Begitu juga dari segi Muamaliyah (hubungan
sesama
manusia) yang harus diperbuat, norma-norma mana yang boleh
dilakukan
dan mana yang tidak, mana yang pantas mana yang tidak,
bagaimana
cara berprilaku, bertutur sapa dan banyak lagi manfaat lainnya.
Ringkasnya
Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk yang mengarahkan
manusia
kejalan yang diridhai Allah, sehingga akan tercipta kebahagiaan
dunia
dan akhirat.
5. Nama-Nama Lain dari Al-Qur’an
a.Al-Furqan (pembeda)
Dinamai Al-Furqan dengan
berdasarkan pada Firman Allah surah Al
Furqan ayat 1 :
تَبَارَكَٱلَّذِي
نَزَّلَ ٱلۡفُرۡقَانَ عَلَىٰ عَبۡدِهِۦ لِيَكُونَ لِلۡعَٰلَمِينَ نَذِيرًا ١
Artinya : “Maha
suci allah yang telah menurunkan furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya
(Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan pada seluruh alam(jin dan
manusia)”
Dinamai Al-Furqan karen
iya sebagai pembeda antara yang benar dengan yang salah, antara yang baik dan
buruk, serta yang sejati dan palsu.
b.Az-Zikr artinya (peringatan)
Dinamai Az-Zikr
sebagaimana dalam firman Allahsurah AL-Hijr ayat 9
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ
وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩
Artinya
: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan
pasti kami pula kami yang memeliharanya”
Dinamakan Az-Zikr karena
Al-Qur’an diturunkan Allah memang untuk memberi peringatan kepada manusia
mengenai hal-hal yang dapat menyelamatkan dan membahagiakan, serta hal yang
dapat mencelakakan dan menyengsarakan manusia.
c. Mau’izah (ajaran,nasihat atau tuntunan)
Firman Allah surah yunus ayat 57
يَٰٓأَيُّهَاٱلنَّاسُ قَدۡ
جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ
وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ ٥٧
Artinya
: “wahai manusia! sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an)
dan TuhanMu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta
rahmat bagi orangmyang beriman”.
d.Al- Kitab ( kitab)
Firman Allah surah
Al-Baqarah 1-2
الٓمٓ ١ذَٰلِكَٱلۡكِتَٰبُ
لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢
Artinya
: “Alif lam min. Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
6.Garis-garis besar
isi Al-Qur’an
Pokok-pokok isi
Al-Qur’an ada lima :
a. Tauhid.
b. Tuntunan ibadah.
c. Janji dan ancaman.
d. Hukum yang dihajati pergaulan hidup
bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
e. Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada
Allah.
7.Fungsi
dan Kedudukan Al-Qur’an dalam Agama Islam
1.Fungsi Al-Qur’an
1)Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang
bertakwa.
Hal ini seperti yang dijelaskan Allah dalam
QS. Al-Baqarah (2) :2
ذَٰلِكَٱلۡكِتَٰبُ لَا
رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢
Artinya
: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi
mereka yang bertakwa”(QS Al-Baqarah 2:2)
2) Sebagai sumber Hukum
Al-Qur’an sebagai sumber hukum memiliki
tiga inti dasar Hukum yakni :
a)
Hukum yang berhubungan dengan masalah
akidah
b)
Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah secara lahiriah antara manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungan
sekitarnya.
c)
Hukum yang berhubungan dengan akhlak
manusia
3)Sebagai pedoman Hidup
Al-Qur’an dijadikan
sebagai pedoman hidup karena memiliki kelebihan dan keistimewaan Al-Qur’an
antara lain :
a)
Al-Qur’an mengandung ringkasan ajaran
ketuhanan yang pernah dimuat pada kitab sebelumnya.
b)
Al-Qur’an ditujukan kepada semua umat
sepanjang masa
c)
AL-Qur’an sebagai pedoman hidup
abadi.
d)
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa yang
sangat indah, mudah dibaca, diingat, dan dipahami.
2. Cara memfungsikan Al-Qur’an dan
penerapannya sebagai Pedoman Hidup
Dengan berpegang kepada
Al-Qur’an umat islam hidupnya akan terbimbing kejalan yang lurus , dapat
membedakan nama yang hak dan mana yang batil, mana yang baik dan mana yang
tidak baik, bukan Cuma meyakini saja, tetapi apa yang diperintah, apa yang
dilarang misalnya, dengan melaksanakan perintah wajib salat, puasa,
zakat,berbuat baik kepada orang tua, sesama umat manusia, dan sebagainya.
Begitu juga meniggalkan apa yang dilarang-Nya seperti, larangan berdusta,
mencuri, memakan harta secara zalim, minum-minuman keras, menyakiti orang tua,
dll. Kalau kita sudah megikuti aturan-aturan dalam Al-Qur’an hidup kita
diberkati oleh Allah dan mendapatkan limpahan rahmatnya.
Firman Allah dalam surah
Al-An’am 155 :
وَتَمَّتۡ كَلِمَتُ رَبِّكَ
صِدۡقٗا وَعَدۡلٗاۚ لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَٰتِهِۦۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُٱلۡعَلِيمُ
١١٥
Artinya: “ini
adalah Kitab (Al-Qur’an) yang kami turunkan dengan penuh berkah. Ikutilah,dan
bertakwalah agar kamu mendapat rahmat.”(QS. Al-An’am
155)
8.Kedudukan Al-Qur’an
sebagai sumber islam
Allah SWT. Menurunkan
Al-Qur’an itu, gunanya untuk dijadikan dasar hukum, dan disampaikan kepada
ummat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan segala
larangannya, sebagaimana firman Allah:
فاستمسك
بالذي أوحى اليك ( الزخرف : 43)
Artinya : “ maka berpeganglah kepada
apa diwahyukan kepadamu”. (Az-Zukhruf ayat 43)
9.Dasar-dasar Al-Qur’an dalam membuat hokum
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada nabi
Muhammad untuk jadi petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat manusia.
Al-Qur’an selalu berpedoman kepada 2 hal yaitu
: (1) Tidak memberatkan, dan (2) berangsur-angsur.
1.Tidak memberatkan, Sebagaimana firman Allah
:
لا
يكلّف الله نفسا الا وسعها ( البقرة : 286)
Artinya : “Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (Al-Baqoroh
ayat 286)
Dengan dasar-dasar itulah, kita boleh :
a.
Mengqoshor shalat dan
menjama’ .
b.
Boleh tidak berpuasa
apabila dalam bepergian.
c.
Boleh bertayamum
sebagai ganti wudhu.
d.
Boleh memakan makanan
yang diharamkan, jika dalam keadaan memaksa.
2. Berangsur-angsur, Al-Qur’an telah
membuat hukum-hukum dengan berangsur-angsur. Hal ini dapat diketahui sebagai
berikut :
a. Mengharamkan sesuatu secara
berangsur-angsur, seperti larangan minum minuman keras dan perjudian,
sebagaimana firman Allah :
يسئلونك
عن الخمر والميسر قل فيهما اثم كبير ومنافع للناس واثمها اكبر من نفعهما. (البقرة :219)
Artinya :
“ mereka bertanya kepadamu tentang minuman
yang memabukkan dan tentang perjudian. Katakanlah olehmu, bahwa minuman yang
memabukkan dan perjudian itu dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi
dosanya lebih besar daripada manfaatnya”. (S. Al-Baqoroh ayat 219)
lalu datanglah fase yang kedua dari fase mengharamkan khamar
itu, yaitu dengan jalan mengharamkannya sesaat sebelum shalat dan bahwa
bekas-bekasnya hrus lenyap sebelum shalat, yaitu dengan firman Allah :
ياايها
الذين امنوا لاتقربوا الصلاة وانتم سكرى. (النساء : 43)
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
mendekati shalat di kala kamu sedang mabuk”. (S. An-Nisa’ ayat 43
Kemudian datanglah fase terakhir yaitu larangan keras terhadap
arak dan judi, setelah banyak orang-orang yang telah meninggalkan kebiasaan itu
dan sesudah turun ayat yang pertama dan yang kedua. Yaitu firman Allah :
ياايها
الذين امنوا انما الخمر والميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون.
(المائدة : 90)
Artinya :
”Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
arak, judi, berhala dan bertenung adalah pekerjaan yang keji termasuk perbuatan
syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu memperoleh
kebahagiaan”. (S. Al-Maidah ayat 90)
Demikian Allah membuat larangan secara berangsur-angsur dan
sebaliknya dalam pembinaan hukumpun secara berangsur-angsur pula.
10. Memetik pelajaran dari Al-Qur’an
Selain mengetahui sebab-sebab turunya
Al-Qur’an, perlu pula mengetahui cara mengambil pelajaran yang terdapat di
dalamnya. terutama yang berhubungan dengan hukum.
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa macam kedudukan ayat, antara
lain sebagai berikut :
1. Ada yang perintahnya jelas, tetapi
caranya tidak jela. Seperti ayat :
واقيموا
الصلاة. البقرة 43
Artinya :
”Dan
dirikanlah olehmu shalat”. (S. Al-baqarah ayat 43)
Dalam ayat ini perintah shalat jelas, tetepi cara
melaksanakannya tidak disebutkan.
2. Ada yang perintahnya jelas, tetapi
ukurannya tidak jelas. Misalnya
واتواالزكاة. البقرة 43
Artinya :
“Dan keluarkanlah olehmu zakat”. (S. Al-baqarah ayat 43)
Ayat ini jelas perintahnya tentang zakat, tetapi ukurannya dan
nishabnya tidak diterangkan di dalam ayat ini.
Kalau kita menjumpai ayat-ayat semacam ini, maka perlu sekali
adanya penjelasan lebih lanjut. Penjelasan ini tidak ada yang berhak
memberikannya, kecuali Nabi Muhammad saw. Sebagaimana firman Allah :
· وانزلنا اليك
الذكرلتبين للناس. النحل 44
Artinya :
“Dan kami turunkan kepadamu (Muhammad)
Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia”. (S. An-Nahl ayat 44)
Adz-Dzikru oleh sebagian ulama’ diartikan segala yang datang
dari Rasulullah, yaitu sabdanya, perbuatan dan sebagainya yang menjadi tafsir
bagi Al-Qur’an, yaitu yang dinamakan “sunnah”.
B. SUNNAH / HADIS
1.Pengertian
Dari segi bahasa hadis
artinya perjalanan, pekerjaan
cara, khabar berita
atau hal yang di beritakan
turun-temurun. Adapun menurut istilah, hadis adalahperkataan nabi
Muhammad saw., perbuatannya, dan keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan
atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh nabi, tiada ditegurnya
sebagai bukti bahwa perbuatan itu tiada terlarang hukumnya. Atau
hadis menurut istilah ialah;
“maa udifa linnabiyyi Saw aufi’lam
awtaqriran aw nahwaha”.
Artinya: “Segala
sesuatu yang bersumber dari nabi muhammad Saw baik perkataan,perbuatan, taqrir
(persetujuan) ataupun yang sepadanya.”
Kata lain yang juga di pakai dengan
pengertian demikian ialah”sunah”.Arti sunah menurut bahasa ialah
jalan,tabiat,kebiasaan,yaitu jalan yang ditempuh atau kebiassan yang di pakai
dan di perintahkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Secara umum ulama tidak membedakan antara
pengertian hadis dengan sunah.Kedua-duanya mengandung pengertian”ucapan atau
perbuatan atau taqrir(persetujuan)Nabi Muhammad Saw” Walaupun demikian
dikalangan ulama ada juga yang memberikan perbedaan antara hadis dan sunah.
Hadis diartikan sebagai
keterangan-keterangan dari Rasulullah Saw.yang sampai kepada kita.Sedangakan
sunah diartikan pada pernyataan yang berlaku pada masa Rasulullah atau telah
menjadi tradisi dalam masyarakat islam pada masa itu,dan menjadi pedoman dalam
melakukan ibadah dan muamalah.
Hadis atau sunah Rasulullah Saw.adalah
sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an.Untuk mengetahui lebih jauh
tentang hadis atau sunah perlu kita mengetahui sejarah pembukuan hadis,yaitu
hadis pada masa Rasulullah,pada masa khulafaurrasyidin dan pada masa khalifah
Ummar Bin Abdul Aziz.
2.Pembagian sunnah atau Hadis
Sunnah itu dibagi menjadi tiga : (1) Sunnah
Qouliyah = sabda-sabda Rasulullah; (2) Sunnah Fi’liyah = perbuatan Rasulullah;
(3) Sunnah Taqririyah = diamnya Rasulullah atas ucapan atau perbuatan sahabat.
a. Sunnah atau Hadis Qouliyah
Sunnah Qouliyah yaitu perkataan nabi saw. yang menerangkan
hukum-hukum agama dan maksud isi Al-Qur’an serta berisi peradaban, hikmah, ilmu
pengetahuan dan juga menganjurkan akhlaq yang mulia. Sunnah qouliyah (ucapan)
dinamakan juga hadits nabi saw.
Sunnah Qouliyah juga disebut “khabar”. Jadi sunnah qouliyah itu
boleh dikatakan sunnah, hadits dan khabar. Khabar pada umumnya dapat dibagi
tiga :
1.
Yang pasti
benarnya,seperti apa yang datang dari Allah,RasulNya dan khabar yang dibeikan
dengan jalan mutawatir.
2.
Yang pasti tidak
benarnya, yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin dibenarkan oleh
akal, seperti khabar mati dan hidup dapat berkumpul.
3.
Khabar yang tidak
dapat dipastikan benar bohongnya seperti khabar-khabar yang samar,karena
kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang kuat, benarnya atau bohongnya.
b.Sunnah atau Hadis
Fi’liyah
Sunnah Fi’liyah yaitu perbuatan nabi saw. yang menerangkan cara
melaksanakan ibadah, misalnya cara berwudhu, shalat dan sebagainya.
Sunnah Fi’liyah itu terbagi sebagai berikut :
1.
Pekerjaan nabi saw.
yang bersifat gerakan jiwa, gerakan hati, gerakan tubuh, seperti : bernafas,
duduk, berjalan dan sebagainya. Perbuatan seperti ini tidak bersangkut-paut
dengan soal hukum, dan tidak ada hubungannya dengan suruhan larangan atau
tauladan.
2.
Perbuatan nabi saw.
yang bersifat kebiasaan, seperti : cara-cara makan, tidur dan sebagainya.
Perbuatan semacam ini pun tidak ada hubungannya dengan perintah,
larangan, dan tauladan. kecuali kalau ada perintah anjuran nabi untuk mengikuti
cara-cara tersebut.
3.
Perbuatan nabi saw.
yang khusus untuk beliau sendiri, beristri lebih dari empat. Dalam hal ini
orang lain tidak boleh mengikutinya.
4.
Pekerjaan yang
bersifat menjelaskan hukum yang mujmal, seperti: shalatnya, hajjinya, yang
kedua-duanya menjelaskan sabdanya :
صلواكمارأيتمونى
اصلى
Artinya :
“Shalatlah
kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”.
خذوا
مناسككم
Artinya :
“Ambillah
dari padaku hal-hal (pelakuan) ibadah hajjimu”.
Hukum perbuatan tersebut sama dengan
hukum apa yang dijelaskan, baik wajib maupun mandubnya.
5.
Pekerjaan yang
dilakukan orang lain sebagai hukuman, seperti: menahan orang,atau mengusahakan
milik orang lain.
6.
Pekerjaan yang
menunjukkan kebolehan saja, seperti: berwudhu dengan satu kali, dua kali dan
tiga kali.
c.Sunnah atau Hadis Taqririyah
Sunnah Taqririyah yaitu bila nabi saw.
mendengar sahabat mengatakan sesuatu perkataan atau melihat mereka memperbuat
suatu perbuatan, lalu ditetapkan dan dibiarkan oleh nabi saw. dan tiada
ditegurnya atau dilarangnya, maka yang demikian dinamai sunnah ketetapan Nabi
(taqrir).
Maka perkataan atau perbuatan yang didiamkan
itu sama saja dengan perkataan dan perbuatan Nabi sendiri, yaitu dapat menjadi
hujjah bagi ummat seluruhnya.
Syarat sahnya taqrir ialah orang yang
dibiarkannya itu benar-benar orang yang tunduk kepada syara’, bukan orang kafir
atau munafiq.
Contoh-contoh taqrir antara lain sebagai
berikut:
1.
Mempergunakan uang
yang dibuat oleh orang kafir.
2.
Mempergunakan harta
yang diusahakan mereka seketika masih kafir.
3.
Membiarkan dzikir
dengan suara keras sesudah shalat.
3.Pembukuan Hadis
a.Hadis Pada masa
Rasulullah Saw
Ketika Rasulullah Saw masih hidup beliau
melarang orang untuk menulis dan mencatat sesuatu dari beliau.Kebijaksanaan itu
sangat penting agar seluruh isi Al - Qur’an dapat dipertanggungjawabkan
kemurniannya sebagai wahyu Allah semata,tidak tercampur dengan perkataan Nabi
Saw sendiri.
Yang diperintahkan untuk dicatat hanya
wahyu saja.Selain dari itu dilarang.seluruh hadis pada masa Rasulullah berada
dalam hafalan dan ingatan para sahabat saja.
Namun demikian,ada beberapa orang yang
sempat mencatat hadis nabi Saw.dan mereka itu adalah orang-orang yang
benar-benar dapat menjamin tidak akan mencmpur adukan antara Al-Qur’an dengan
hadis Nabi Saw.Misalnya,ucapan Rasulullah ketika Abdullah Ibnu Amr’ash bertanya
kepada beliau:
“Uktub anni awalladji nafsi biyadihi ma
kharaja min fami illa haqun”
Artinya: “tulislah
apa yang anda dengar dari padaku.demi tuhan yang jiwaku dalam
kekuasaan-Nya,tidak keluar dari mulutku selain
kebenaran”
Dari uraian diatas kita ketahui bahwa
larangan mencatat hadis ditujukan kepada umum,dan ada ijin yang diberikan
kepada orang-orang tertentu.
b. Hadis
Pada Masa Khulafaurrasyidin
Telah dikemukakan bahwa pembukuan Al-Qur’an
dimuali sejak masa khalifah Abu Bakar dengan perhatian yang sangat besar dari
para sahabat,sedagkan hadis dimasa ini
belum terbukukan secara meluas.Hal ini disebabkan karena belum memperoleh
perhatian sepenuhnya dari kalangan sahabat.bahkan Ummar bin Khattab pernah
melarang untuk memperbanyak riwayat hadis.
Upaya para sahabat dalam
melestarikan hadis pada awalnya dengan cara menghafal apa-apa yang diucapkan
Nabi Saw dan melihat apa yang diperbuatnya.Pada walnya nabi Saw melarang
penulisan hadis,baru pada akhir-akhir dari kehidupan Rasulullah larangan itu
dicabut.
Kemudian pada awal
khalifah Ali bin Abi Thalib,hadis mulai mengalami perkembangan yang kurang
menggembirakan,karena mulai timbu hadis-hadis palsu,yakni ucapan atau buah
pikiran seseorang yang diakui seolah-olah dari nabi Saw.Tapi berkat upaya
penyelidikan para muhadisin (ahli hadis) yang penuh ketekunan hal ini dapat
diatasi.
c. Hadis Pada Masa Khalifah Ummar Bin Abdul
Aziz
Periode penulisan dan
kodifikasi hadis secara resmi berlangsung pada masa khalifah Ummar bin Abdul
Aziz yaitu pada akhir abad pertama hijriah(99-102 H/717-720 M).
Khalifah yang dikenal
jujur dan mempunyai minat yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan itu
mengambil kebijaksanaan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.Kalifah melihat
kenyataan bahwa penghafal hadis semakin berkurang jumlahnya,karena
meninggal, dsb. Tumbuh rasa khawatir pada diri khalifah,apabila hadis
tidak segera dikumpulkan, maka berangsur-angsur akan hilang. Rasa khawatir
itulah yang menyebabkan khalifah memerintahkan gubernur madinah supaya
membukukan hadi nabi. Dan beliaupun mengirim surat kepada setiap gubernur
untuk mengambil langkah serupa didaerah mesing-masing.
C. IJMA’
1.Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa, artinya : sepakat, setuju, atau
sependapat. Sedangkan menurut istilah, ialah :
اتّفاق مجتهدى امّة
محمّد صلى الله عليه وسلّم بعد وفاته فى عصر من الاعصار على امر من الامور.
Artinya :
“Kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi
Muhammad saw. setelah beliau wafat, pada masa tertentu tentang masalah
tertentu”.
Dari pengertian diatas dapatlah diketahui,
bahwa kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau
kesepakatan orang-orang semasa dengan nabi tidaklah disebut sebagai ijma’.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang
setuju atau sepakat sebagai ijma’, namun pendapat jumhur, ijma’ itu disyaratkan
setuju paham mujtahid (ulama) yang ada pada masa itu.Tidak sah ijma’ jika salah
seorang ulama dari mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya.Selain itu,
ijma’ ini harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak boleh
didasarkan kepada yang lainnya.
Contoh mengenai ijma’ antara lain ialah menjadikan as-Sunnah
sebagai salah satu sumber islam. Semua mujtahid dan bahkan semua umat islam
sepakat (ijma’) menetapkan as-Sunnah sebagai salah satu sumber hukum islam.
Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dengan
tiga cara, yaitu :
1.
Dengan ucapan (Qouli),
2.
dengan perbuatan (Fi’li),
3.
dengan diam (sukut)
2. Macam-macam Ijma’
1.
Ijma’ Ummah
2.
Ijma’ Sahaby
3.
Ijma’ Ahli Madinah
4.
Ijma’ Ahli Kufaah
5.
Ijma’ Khalifah yang
empat
6.
Ijma’ Syaikhany
7.
Ijma’ Ahli Bait
3. Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma' dapat dijadikan hujjah
dan sumber hukum islam dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan
bersifat dzhanny. Golongan syi'ah memandang bahwa ijma' ini sebagai hujjah yang
harus diamalkan.Sedang ulama-ulama Hanafi dapat menerima ijma' sebagai dasar
hukum, baik ijma' qath'iy maupun dzhanny.Sedangkan ulama-ulama Syafi'iyah hanya
memegangi ijma' qath'iy dalam menetapkan hukum.
penetapan ijma' sebagai sumber hukum islam ini antara lain
adalah :
Firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 59 :
يايهاالذين
امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الأمر منكم ( النساء : 59)
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu".
Yang dimaksud "ulil amri" ialah orang-orang yang memerintah
dan para ulama.Menurut hadits:
لاتجتمع
أمّتى على الضّلالة
Artinya:
"Ummatku
tidak bersepakat atas kesesatan".
Menurut sebagian ulama bahwa yang dimaksud
dengan Ulil Amri fid-dunya, yaitu penguasa, dan Ulil Amri fid-din, yaitu mujtahid.
Sebagian ulama lain menafsirkannya dengan ulama.
Ijma' ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar'iy, yaitu
setelah Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma' dapat dijadikan
alternatif dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Qu'an atau
as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
4. Sebab-sebab Dilakukan Ijma'
Di antara sebab-sebab dilakukannya ijma' ialah :
a.
Karena adanya
persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam
nash Al-Qur'an dan as-Sunnah tidak diketemukan hukumnya.
b.
b.Karena nash baik
yang berupa Al-Qur'an maupun as-Sunnah sudah tidak turun lagi atau telah
berhenti.
c.
c.Karena pada masa itu
jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah dikoordinir
untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukum persoalan
permasalahan yang timbul pada saat itu.
d.
d.Di antara para
mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih
mudah dipersatukan.
D.QIYAS
1.Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan, atau
mempersamakan sesuatu dengan lainnya dikarenakan adanya persamaan. Sedang
menurut istilah qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan
hukumnya dalam nash dengan
mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash.
Berbeda dengan ijma', qiyas bisa dilakukan oleh individu, sedang
ijma' harus dilakukan bersama oleh para mujtahid.
2.Kedudukan Qiyas sebagai sumber hukum Islam
Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat
sesudah Al-Qur'an, Hadits dan Ijma'.
Mereka berpendapat demikian dengan alasan:
Firman Allah :
فاعتبروا
يااولى الابصار.
( الحسر : 2)
Artinya:
"Hendaklah kamu mengambil i'tibar (ibarat
= pelajaran) hai orang-orang yang berfikiran". (S. Al-Hasyr ayat 2)
Karena i'tibar artinya "qiyasusysyai-i
bisysyai-i : membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain".
3.Rukun Qiyas
Rukun qiyas ada empat
a. Ashal (pangkal) yang menjadi ukuran.
b. Far'un (cabang) yang diukur
c. 'Illat, yaitu sifat yang menghubungkan pangkal
dan cabang.
d. Hukum, yang ditetapkan pada far'i sesudah
tetap pada ashal.
4.Macam-macam Qiyas
Qiyas ini ada empat macam :
a.
Qiyas aulawi
(lebih-lebih)
Qiyas aulawi ialah yang 'illatnya sendiri menetapkan adanya
hukum.
b.
Qiyas musawi
(bersamaan 'illatnya)
Qiyas musawi ialah 'illatnya sama dengan 'illat qiyas aulawi.
c.
Qiyas dilalah
(menunjukkan)
Qiyas dilalah ialah yang 'illatnya tidak menetapkan hukum.
d.
Qiyas syibh
(menyerupai)
Qiyas syibh ialah mengqiyaskan cabang yang diragukan di antara
kedua pangkal ke mana yang paling banyah menyamai.
5.Sebab-sebab Dilakukan Qiyas
a.Karena adanya persoalan-persoalan yang harus
dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Qur'an dan as-Sunnah
tidak diketemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma'.
b.Karena nash, baik berupa Al-Qur'an maupun
as-Sunnah telah berakhir dan tidak turun lagi.
c.Karena adanya persamaan 'illat antara
peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah
ditentukan oleh nash.
Hukum Islam yang Tidak Di Sepakati
A.IJTIHAD
1. Pegertian dan Peranan Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari اجتهد
- يجتهد - اجتهاد “bersungguh-sungguh, rajin, giat”.
Kemudian dikalangan para ulama’
perkataan “ijtihad” ini khusus digunakan dalam pengertian
usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (fiqih) untuk mengetahui
hukum syari’at.Jadi dengan demikian, ijtihad itu ialah perbuatan menggali hukum
syar’iyyat dari dalil-dalilnya yang terperinci dalam syari’at.Orang yang
melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Imam Ghozali mendefinisikan ijtihad sebagai
usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau
menetapkan hukum syari’at. Dalam batasan lain dikatakan :
الإجتهاد هو استفراغ
الوسع فى نيل حكم شرعىّ بطريق الإستنباط من الكتاب والسّنّة.
Artinya :
”Ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan
untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istimbat (mengeluarkan hukum) dari
kitab dan sunnah.
Ijtihad sebagaimana dijelasakan di atas
mempunyai peranan yang sangat penting dalam penetapan status hukum suatu masalah
yang belum ada hukumnya secara rinci baik dalam Al-Qur’an maupun
As-Sunnah.Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat
dipecahkan karena tidak diketemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok
tersebut.Dengan ijtihad masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas
status hukumnya.
2. Macam-macam ijtihad
Ijtihad
sari segi obyek kajiannya, menurut syatibhi, dibagi menjadi dua yaitu :
a)Ijtihad Istinbathi
Adalah ijtihad yang
dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat dalam meneliti dan
menyimpulkan ide hukum yang terkandung didalamnya. Dan hasil dari ijtihad
tersebut kemudian dijadikansebuah tolak ukur untuk setiap permasalahan yang
dihadapi
b) Ijtihad tathbiqi
Jika ijtihad istimbathi
dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat, maka ijtihad tathbiqi
dilakukan dengan permasalahan kemudian hukum produk dari ijtihad istinbathi
akan diterapkan.
3. Objek ijtihad
Menurut
Imam Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki
dalil yang qoth’i (lafadz Al-Qur’an itu hanya menunjukan suatu arti tertentu)
dan hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni (lafadz
Al-Qur’an yang memungkinkan makna lain dari satu makna tertentu), serta
hukum-hukum yang belum ada nash nya dan ijma para ulama.
4. Hukum Ijtihad
Menurut Syekh Muhammad Khudlaribahwa hukum
ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi :
a. Wajib ‘Ain, yaitu bagi
seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah, dan masalah itu akan hilang
sebelum hukumnya diketahui.
b.Wajib Kifayah, yaitu apabila
seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum
diketahui hukumnya, sedang selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang
mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka
kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.
c.Sunnah, yaitu ijtihad terhadap
suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
5. Syarat-syarat Ijtihad
Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap
orang.Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi.Syarat-syarat
tersebut terbagi menjadi dua, yaitu syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus
dan syarat pelengkap.
a.Syarat-syarat Umum
1.
Baligh
2.
Berakal sehat
3.
Memahami masalah
4.
Beriman.
b. Syarat-syarat Khusus
1. Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan masalah yang dianalisis.
2.Mengetahui sunnah-sunnah nabi yang berkaitan
dengan masalah yang dianalisis.
3.Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam.
4.Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah.
5.Mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab.
6.Mengetahui ilmu ushul fiqih.
7.Mengetahui ilmu mantiq.
8.Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan
bara’ah asliah.
9.Mengetahui soal-soal ijma’.
c.Syarat-syarat pelengkap
1.Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy
yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
2.Mengetahui masalah-masalah yang
diperselisihkan oleh para ulama’ dan yang akan mereka sepakati.
3Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak
bersifat mutlaq.
6. Tigkatan-tingkatan Mujtahid
Tingkatan ini sangat bergantung pada
kemampuan, minat, dan aktifitas yang ada pada mujtahid itu sendiri. Secara umum
tingkatan mujtahid ini dapat dikelompokkan menjadi :
a. Mujtahid Mutlak atau
Mustaqil.
b. Mujtahid Muntasib.
c. Mujtahid Fil
Mazahib.
d. Mujtahid Murajjih.
B.MASHALIHUL MURSALAH
1. Pengertiannya
Mashalih bentuk jama' dari mashlahah, artinya kemaslahatan,
kepentingan.Mursalah berarti terlepas.Dengan demikian mashalihul mursalah
berarti kemaslahatan yang terlepas.Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan
kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas
mereka.
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan
mursalah.Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya
mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat.Dari sini
dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي)
dan menjauhkan madharat (سلبي).Terkadang maslahat ini ditinjau dari
aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan
mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan mafsadat
didahulukan dalam menegakan maslahat” .
Seperti dijelaskan diatas bahwa maslahat merupakan inti dari
setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud
syari’at (ushulul khomsah).
Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak غير مقيد yaitu
maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah
maupun larangan. Dengan tidak
adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa
menjadi acuan dalam menentukan suatu hokum.
2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
Menurut Abdul Wahab Kallaf menyatakan bahwa Jumhur
Ulama Ummat Islam berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah adalah Hujjah
Syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian
yang tidak ada hukumnya dalam nash atau Ijma’ atau qiyas, ataupun Isthisan
disayri’atkan kepadanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum.
Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan
sampai ada bukti pengakuan dari syara’”.
Akan tetapi masih banyak juga yang menolak mengenai kehujahan
Maslahah Mursalah mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak ada
bukti syar’I yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun
pembatalannya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.
Yang jelas mentarjihkan pendasaran pembentukan hukum atas
maslahah mursalah dapat dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka akan
terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam dan akan berhenti mengikuti perjalanan
situasi dan kondisi serta lingkungan.
Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya
Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum
syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda
pendapat.Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah
sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya,
ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai
kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum,
atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash
sebagai motivasi suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah
al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai
ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul
mursalah sebagai sumber hukum.:
1.
Jumhur ulama
menolaknya sebagai sumber hukum
2.
Bahwa dengan nash-nash
dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat
manusia.
3.
Pembinaan Hukum Islam
yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi
keinginan hawa nafsu.
4.
Imam Malik membolehkan
berpegang kepadanya secara mutlak.
Namun menurut Imam
Syafi'i boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil
kully atau dalil juz'iy dari syara. Pendapat kedua ini berdasarkan :
a)
Kemaslahatan manusia
selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya.
2)
Para sahabat dan
tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat
yang tidak ada petunjuknya dari syari'.
5.
Dalam Al-Qur'an dan
hadits, tidak ada nash yang memerintah pengumpulan mushaf Al-Qur'an tetapi oleh
ummat Islam hal ini dilakukan, tiada lain ialah karena mengingat maslahat
ummat.
6.
Dalam pernikahan
mengadakan pensyaratan adanya surat nikah, untuk sahnya gugatan, nafkah dan
pembagian pusaka.
3. Syarat-syarat
Berpegang Kepada Mashalihul Mursalah
1.
Maslahat itu harus
jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
2.
Maslahaat itu bersifat
umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
3.
Hukum yang ditetapkan
berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang
telah ditetapkan dengan nash atau ijma'.
C. SADDUDZ DZARI'AH
1. Pengertiannya
Dyara'i jamak dari kata dzari'ah artinya jalan.Saddudz dzari'ah
berarti menutup jalan.Menurut istilah ulama Ushul Fiqih bahwa yang di sebut
dengan dzari'ah ialah menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan.
2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
1)
Menurut Imam Malik,
jalan-jalan yang mendatangkan kerusakan itu harus dihindarkan.
2)
Menurut Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat dijadikan sumber
hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan
sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits nabi saw. dikatakan :
دع مايربك الى مالايربك
Artinya:
"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak
meragukan".
A.ISTISHAB
1. Pengertiannya
Secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya
istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi
yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah Definisi
al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan
(keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar
bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang
mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki
ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir
bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an,
al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang
ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam
berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus
mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian
qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh)
menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’
(istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip
asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di
masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang, selama tidak terdapat hukum yang
mengubahnya.
2. Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini.
Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1)
Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan
dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika
ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para
ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-.
Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan
dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil
lainnya seperti ijma’ dan qiyas
2)
Istishhab
al-Bara’ah al-Ashliyah, atau
bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan
apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan \
ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan
sesuatu
3)
Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat
berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.
3. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
Islam
Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat
kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan
kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata ”Sesungguhnya
Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan
hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang
tidak ada dalil yang merubahnya”.
Jumhur ulama mengatakan bahwa istishab dapat dijadikan pegangan
sebagai hujjah, karena dalam sejarah kehidupan manusia sudah terbiasa dan
menjadi kekuatan hukum bila berpegang kepada hukum yang berlaku sebelumnya.
Dari prinsip-prinsip ini ditetapkan kaidah-kaidah fiqih sebagai
berikut:
a. Asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya :
الاصل بقاء ماكان على
ماكان
Artinya :
"Pada dasarnya yang dijadikan dasar
adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya".
b. Apa yang telah diyakini adanya, tidak
hilang karena adanya keragu-raguan.
ما ثبت باليقين لايزول
بالشّك
Misalnya seorang yang telah berwudlu kemudian dia ragu-ragu,
apakah wudlunya sudah batal atau belum, maka wudlunya tetap ada (tidak batal).
c. Asal hukum sesuatu adalah ibahah
(boleh), sampai ada dalil yang mengharuskan meninggalkan hukum tersebut.
الاصل فى الاشياء
الاباحة
Misalnya asal hukum akad jual beli itu boleh.
Sebagian ulama berpendapat, terutama golongan Hanafiyah
mengatakan bahwa istishab itu hanya berlaku bila dipergunakan untuk menolak.
4.‘URF
1. Pengertiannya
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam
arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh
pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang
telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan
dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa
perkataan, perbuatan maupun meninggalkan.Menurut ahli syara' urf bermakna adat,
atau antara urf dan adat itu tidak ada perbedaanya.Diantara contoh urf amali
ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak
mengucapkan shighat.Contah urf Qouly ialah orang telah mengetahui bahwa kata
ar-rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan.
2. Macam-macam Urf dan Hukumnya
Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a.Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang
berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk
daging ikan
b.Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang
berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa
mengucaplan akad jual-beli.
Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a)
Urf shahih, yaitu apa
yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari'at, tidak
menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini
diperbolehkan dan bahkan harus dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti
mendatangkan maslahat bagi manusia.
b)
Urf Fasid, yaitu
segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan
syari'at, atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Urf seperti
ini hukumnya haram, sebab bertentangan dengan ajaran agama.
Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a)
Al Urf Am, ialah Urf’
yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b)
Al urf al Khas, yaitu
urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah
kebiasaan masyarakat tetentu.
Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam antara lain:
a.
Tidak ada dalil yang
khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
b.
Pemakian tidak
mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan
masadat, kesulitan atau kesempitan.
c.
Telah berlaku secara
umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
3. Kedudukan Urf sebagai sumber hokum
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat
dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum
atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan
perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat
dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak
bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya,
karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang
berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena
bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nas.
5. ISTIHSAN
1. Pengertiannya
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik.Sedang menurut
istilah Ahli Ushul yang dimaksud istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid
dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang
dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada
hukum yang bersifat istisna'y (pengecualian), karena ada dalil syara' yang
menghendaki perpindahan itu.
Dari pengertian di atas jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu
:
a)
Menguatkan qiyas khafy
atas qiyas jaly dengan dalil. Misalnya menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita
yang sedang haid boleh membaca Al-Qur'an berdasarkan istihsan tetapi haram
menurut qiyas.
Qiyas: Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub
dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur'an, maka
orang yang haid juga haram membaca Al-Qu'an.
Istihsan: Haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama.
Karena itu, wanita yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur'an, sebab bila
tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apa
pun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
b)
Pengecualian sebagian
hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan) berdasarkan
Istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kully, syara' melarang jual beli yang
barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat
kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.
2. Khilafah Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya
sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan mazhabnya.Menurut mereka
adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu.Imam Syafi”i
berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan
sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak
menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.”Dalam buku Risalah
Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan “Perumpamaan orang
yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang
menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah
Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan arah
Ka”bah itu.”
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan
menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab
Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena
ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab
Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada
rasa yang lebih enak.
Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik,
kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu
dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât
menyatakan, “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh
berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan
hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT
menciptakan syara” dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara” yang umum.
3. Kehujjahan Istihsan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu
Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber
hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk
yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang
mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang
menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang.Sedangkan bentuk yang
kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut
pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga
yang disebut dengan segi Isthisan”.
4. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan :
1)
Jumhur ulama menolak
berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti menetapkan
hukum berdasarkan hawa nafsu.
2)
Golongan Hanafiyah
membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka, berhujjah dengan
istihsan hanyalah berdalilkan qiyar khafy yang dikuatkan terhadap qiyas jaly
atau menguatkan satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya
berdasarkan dalil yang menghendaki penguatan itu.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam penyajian makalah ini makadapat kami simpulkan bahwa hukum
islam itu ada yang disepakati dan ada juga yang tidak disepakati.
Adapun hukum islam yang disepakati a.l: Alqur’an, Hadis /
Sunnah, Ijma’, Qiyas. Dan hukum islam yang tidak disepakati a.l: Ijtihad,
Mashalihul Mursalah, Saddudz Dzari’ah, Istishab, ‘Urf,
Istihsan. Inilah hukum-hukum Islam yag ada baik yang disepakati
maupun tidak menurut ilmu fiqh.
B. Saran
Untuk mengetahui hukum-hukum Islam yang tepat hendaklah kita
benar-benar mengetahui apa yang menjadi landasan hukum itu saran pemakalah
setiap perlakuan hendaklah memiliki dasar yang kuat agar tidak terjadi
kekeliruan dikemudian hari
Daftar Pustaka
1.
Pendidikan agama islam Al-Qur’an dan
hadis, PT. Karya putra toha semarang Indonesia, 2008
2.
Umam, Khairul, A,
Achyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 1998
3.
As Syafi’I Karim, Ilmu
Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999
4.
Rahmat Syafi’i, Ilmu
Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1998.