SEJARAH SINGKAT PERKEMBANGAN USHUL FIQH
Diajukan untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas dalam Mata Kuliah Ilmu Fiqih Semester I Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah
dan Keguruan
UIN Alauddin
Makassar
Oleh:
Kelompok III
SYAIKHAH FAKHRUNNISA ABUBAKAR NIM: 20100116050
IMANIYATI NIM: 20100116047
NURANNISA NIM: 20100116066
ABD JALIL NIM: 20100116085
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
DAN KEGURUAN
UIN ALAUDDIN
MAKASSAR
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah swt.berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan makalah
ini telah selesai disusun.
Penyusunan
makalah ini berdasarkan petunjuk dosen Pembina, Pedoman Penulisan Karya Tulis
Ilmiah UIN Alauddin dan sejumlah buku
literatur.
Makalah
yang berjudul Sejarah Singkat Perkembangan Ushul Fiqh ini masih jauh dari
kesempurnaan, mengingat sumber rujukan yang digunakan dan kemampuan serta
pengalaman kami selaku mahasiswa baru masih sangat terbatas.Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan petunjuk dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Ucapan
terima kasih kami haturkan kepada dosen Pembina mata kuliah ilmu fiqh ini dan
semua pihak yang memberikan petunjuk dan arahannya.semoga Allah swt. menilainya
sebagai amal saleh dan memberikan manfaat dalam karya penyusunan makalah ini, amin.
Samata-Gowa,
03 Oktober 2016
Kelompok III
DAFTAR
ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR……………………………………….. 2
DAFTAR
ISI………………………………………………… 3
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………. 4
B. Rumusan Masalah………………………………………….. 5
II
PEMBAHASAN
A. Permulaan Tumbuhnya Ushul Fiqh………………………… 6
B. Permulaan Pembukuan………………………………………. 14
III
PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………….. 16
B. Implikasi…………………………………………………….. 16
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………… 17
I. Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Hukum Islam dalam perjalanan
panjangnya senantiasa megalami dinamika.Masa perjalanan hukum Islam sendiri
sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa fase, yaitu masa Rasulullah,
masa sahabat dan masa tabi’in, selain itu juga disusul dengan masa tabi’it
tabi’in.Pada masa Rasulullah persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam
terbilang belum begitu kompleks.Selain itu penetapan suatu hukum atas persoalan
yang terjadi masih diserahkan penuh kepada Rasulullah SAW. Kemudian pasca beliau wafat, persoalan yang
dihadapi oleh umat Islam semakin komplek, dan
terkadang suatu permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam pada saat itu
belum dijumpai pada zaman Rasulullah. Atas dasar itu lahirlah sebuah ilmu ushul
fiqh sebagai jawaban atas persoalan yang dihadapi oleh umat Islam.Jika ditilik
lebih jauh lagi, sebenarnya embrio ushul fiqh telah ada sejak Rasulullah masih
hidup.Kemudian setelah beliau wafat kajian mengenai ushul fiqh semakin
mendapatkan perhatian yang cukup besar besar dari kalangan ahli hukum Islam.
Ada beberapa pendapat yang
menjelaskan mengenai asal dari ushul fiqh.Secara teoritis, ilmu ushul fiqh
lebih dahulu lahir dari ilmu fiqh, karena ushul fiqh sebagai alat untuk
melahirkan fiqh.Akan tetapi, fakta sejarah menjukkan, ushul fiqh bersamaan
lahirnya fiqh.Sedangkan dari segi penyusunannya, ilmu fiqh lebih dahulu lahir
dari pada ilmu ushul fiqh. Namun, Terlepas dari hal itu, dalam pembahasan
makalah ini akan dijelaskan mengenai sejarah perkembangan ushul fiqh.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Permulaan Tumbuhnya Ushul Fiqh?
2.
Bagaimanaproses Pembukuan Ushul Fiqh?
II.
Pembahasan
A.
Permulaan Tumbuhnya Ushul Fiqh
Telah dimaklumi bahwa hukum fiqih adalah
hasil galian ijtihad. Dan penggaliannya atau dalam hal ijtihad, tentang Nabi
sendiri pun diselisihkan oleh para ulama, apakah Nabi ada berijtihad atau
tidak, walau kita lihat dari kenyataannya Nabi sendiri ada berijtihad. Namun
tidaklah dapat disamakan dengan ijtihad sahabat, tabi’in, dan lainnya, karena
ijtihad Nabi terjamin kebenerannya, dan bila salah seketika itu juga datang
wahyu untuk membetulkannya.Demikian demi terjaganya syariat.
Kalau sahabat Nabi jelas ada
berijtihad.Sebagai contoh, ketika Nabi mengutus Mua’az Bin Jabal ke Yaman
sebagai hakim. Nabi bertanya: “bagaimana engkau memutuskan sesuatu bila tidak
terdapat keterangan dalam al-Qur’an atau hadis,” Mu’az menjawab: “aku akan
berijtihad.” Kemudian nabi menepuk bahu Mu’azsambil berkata: “Segala puji bagi
Allah yang telang member taufik kepada utusan Rasulullah tentang sesuatu yang
diridhai oleh Rasulullah.”
Dari kejadian tersebut jelas
menunjukkan, bahwa Nabi membenarkan dan memeng ada pada masa sahabat telah
dilakukan ijtihad walaupu Nabi masih hidup.Oleh karena itu pula kita
berkesimpulan bahwa ushul fiqih telah ada sejak adanya fiqih.Karena fiqih yang
dilakukan dengan jalan ijtihad telah ada sejak zaman sahabat, maka tentulah
ushul fiqih telah ada sejak zaman itu, sekalipun belum tersusun seperti yang
ada sekarang ini.Tentu demikianlah pula pada abad kedua hijriyah tentang
ketentuan ushul fiqih, dalam pejelasannya mereka dalam mengistinbatkan suatu
hukum syar’i.[1]
Menurut
sebahagian ulama, rasulullah bisa malakukan ijtihad berdasarkan pribadinya.
Hanya saja, jika ijtihad beliau salah, Allah akan segera menurunkan wahyu dan
menunjukkan yang benar. Misalnya, tindakan beliau terhadap tawanan perang
badar. Abu bakar berpendapat supaya
tawanan itu di bebaskan dengan membaayar tebusan, sedangkan umar berpendapat
supaya tawanan itu dibunuh saja karena mereka telah mendustakan dan mengusir
nabi dari mekkah. Dari pendapat itu beliau memilih pendapat abu bakar
membebaskan tawanan dengan memungut tebusan dari mereka.Namun kemudian, turun ayat yang tidak membenarkan
pilihan nabi tersebut, yakni ayat 67 surah al-Anfal:
$tBšc%x.@cÓÉ<oYÏ9br&tbqä3tƒÿ¼ã&s!3“uŽó r&4Ó®LymšÆÏ‚÷WヒÎûÇÚö‘F{$#4šcr߉ƒÌè?uÚttã$u‹÷R‘‰9$#ª!$#ur߉ƒÌãƒnotÅzFy$#3ª!$#ur͕tãÒOŠÅ3ymÇÏÐÈ
Tejemahnya:
Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan
sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta
benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[2]
Sebaliknya, jika terhadap hasil ijtihad
nabi itu tidak turun wahyu yang menyangga keabsahannya, berarti ijtihad
tersebut benar dan termasuk kedalam pengertian al sunnah.
Kegiatan
ijtihad pada masa ini tidak hanya dilakukan oleh nabi, tetap beliau juga
memberi izin kepada para sahabatnya untuk melakukan hal yang sam terutama dalam
menghadapi persolan-persoalan hukum yang ketetapan hukumnya tidak ditemui dalam
alkitab dan al-sunnah sementara mereka jauh dari nabi.
Hasil
ijtihad sahabat tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum sebagai pedoman kaum
muslimin berikutnya, kecuali jika ada pengesahan dari rasulullah dan tidak
diturunkannya wahyu yang kelihatannya tidak berdiri sendiri dalam arti tetap
dalam pengawasan wahyu.Kalau ijtihad beliau salah Allah langsung menurunkan
wahyu untuk menegur dan membetulkan, dan bila benar barulah Allah
mendiamkannya.
Namun,
dengan adanya kegiatan ijtihad pada masa itu para sahabat dan ulama-ulama
sepeninggal nabi medapat aba-aba bolehnya melakukan ijtihad dalam menghadapi
persoalan hukum yang ketentuannya tidak mereka temukan dalam nash.
Sepeniggal
Rasulullah, seperti disebut pada uraian sebelumnya, banyak peesoalan baru yang
muncul dan menuntut para ulam untuk menetapkan hukumnya melalui upaya ijtihad
mereka sendiri, dan tidak lagi menuggu pengesahan dari rasul. Oleh sebab itu,
semenjak masa sahabat ijtihad mulai menjadi salah satu sumber hukum islam.
Sebagai contoh, ijtihad umar bin khattab yang tidak menjatuhkan hukuman potong
tangan kepada seorang pencuri karena kelaparan. Begitu juga ali bin abi thalib
berpendapat bahwa wanita yang suaminya meniggal dunia belum dicampuri serta
belum menentukkan maharnya hanya berhak mendapat mut`ah. Ali menyamankan
kedudukan wanita itu dengan wanita yang dicerai suaminya dan belum dicampuri
serta belum ditentukan mahrnya yang oleh syara` di tetapkan mut`ah seperti
dinyatakan dalam surah al baqarah[2] : 236
žwyy$uZã_ö/ä3ø‹n=tæbÎ)ãLäêø)¯=sÛuä!$|¡ÏiY9$#$tBöNs9£`èdq¡yJs?÷rr&(#qàÊÌøÿs?£`ßgs9ZpŸÒƒÌsù4£`èdqãèÏnFtBur’n?tãÆìÅ™qçRùQ$#¼çnâ‘y‰s%’n?tãurÎŽÏIø)ßJø9$#¼çnâ‘y‰s%$Jè»tGtBÅ$râ÷êyJø9$$Î/($ˆ)ym’n?tãtûüÏZÅ¡ósçRùQ$#ÇËÌÏÈ
Terjemahnya:
Tidak
ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri
kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.[3]
Contoh-contoh
yang ditemukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, baik ketika beliau masih
hidup atau setelah wafatnya, menjadi bukti terjadinya praktik ijtihad pada masa
itu.Hanya saja, pada waktu itu tidak tersusun sebagai suatu ilmu yang kelak
disebut ushul fiqh.Karena pada masa itu, ilmu tersebut belum dibutuhkan adanya.
Sebab, Rasulullah mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum, baik
langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya suatu
ilmu khusus yang mengatur kaidah-kaidah berijtihad. Demikian pula para
sahabatnya yangtidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah tersebut dalam berijtihad
karena pergaulan mereka yang dekat dengan Rasulullah, menyebabkan mereka
mengetahui sebab-sebab turunnya ayat (asbabun nuzul), sebab-sebab datang
(asbabun wurud), hadis, dan memahami rahasia-rahasia syariat secara mendalam.
Kemudian, pengetahuan bahasa arab mereka yang baik ikut menjadi faktor
pendukung kemempuan memahami nash secara baik dan berijtihad tanpa membutuhkan
adanya kaidah-kaidah tersebut.
Pada
masa tabi’in, tabi’ al tabi’in, dan para iman mujtahid sekitar abad II dan III
H, kekuasaan islam meluas ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang
bukan berbahasa Arab atau bukan bangsa Arab, diman situasi dan kondisi
budayanya cukup berbeda-beda. Banyak di
antara ulama yang bertebaran di daerah-daerah tesebut dan tida sedikit pula
penduduk daerah tersebut yang masuk islam. Konsekuensi logis dari semua itu
adalah semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum yang ketetapannya tidak
dijumpai di dalam Alqur’an dan hadis.Oleh karena itu, ulama-ulama yang
tinggaldi daerah-daerah tersebut melakukan ijtihad, mencari ketetapan hukumnya
berdasarkan penalaran mereka terhadap ayat-ayat Alqur’an dan hadis Nabi.Ditambah
pula dengan pengaruh kemajuan ilmu penegtahuan dalam berbagai bidangnya pada
masa itu, kegiatan ijtijad menjadi semarak dan maju pesat.
Di
lain pihak, kesemarakan kehidupan ijtihad tersebut tenyatan menimbulkan banayak
perbedaan pendapat dan polemik-polemik ilmiah diantara para ulama, baik
mengenai hasil ijtihad, dalil-dalil yang digunakan, atau jalan-jalan yang
mereka tempul dalam berijtihad itu sendiri. Hal-hal sepeti itu bukan saja
terjadi antara ulama-ulama yang bedomisili di tempat yang sama. Kenyataan ini
melahirkan ide baru bagi mereka untu merumuskan kaidah-kaidah syariah sebagai
panduan metodologis yang bekaitan dengan dasar-dasar dan tujuan-tujuan syara’
menetapkan hukum.
Hal
lain yang tidak dapat disangkal adalah pengaruh bahasa lain terhadap struktur
bahasa Arab. Kenyataan banyaknya bangsa non-Arab yang memeluk islam dan
pergaulan mereka yang intensif dengan bangsa Arab itu sendiri, menyebabkan
terjadinya penyusupan bahasa-bahasa asing tertentu ke dalam bahasa Arab. Hal
ini banyak menimbulkan keraguan dan bermacam kemungkinan dalam memahami nash
syara’. Hal semacam ini menimbulkan ida lain bagi para ulama itu untu menyusun
kaidah kaidah umum yang berkaitan dengan kebahasaan, kaidah lughawiyah.
Begitulah,
disusunnya kaidah-kaidah syari’an dan lughawiyah pada abad ke-2 hijriyah itu,
terwujudlah apa yang disebut sebagai ilmu ushul Fiqh. Menurut Ibnu Nadim, ulama
yang pertama kali menyusun ilmu ushul fiqh adalah Imam Abu Yusuf, murid Imam
Abu hanifah. Hanya saja, kitab itu tidak sampai kepada kita.
Menurut
ABD Al-Wahab Khallaf, Muhammad Bin Idris Al-Syafi’i (150-102H) yang pertama
kali membukukan kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh yang disetai dengan
alasan-alasannya dalam sebuah kitabnya al-risalah.Inilah kitab ilmu ushul fiqh
pertama yang sampai kepada kita.Oleh sebab itu, imam syafi’ilah yang dipandang
oleh para ulama sebagai pencipta ilmu ushul fiqh, dan dilanjutkan pembahasannya
oleh ulama-ulama generasi berikunya.
Perlu
dicatat bahwa ulama- ulama setelah syafi’i mempelajari ushul fiqh dengan tiga
cara berikut ini.
1.
Hanya dengan menjelaskan metode-metode syafi’i.
2.
Mengeluarkan kaidah-kaidah atau teori-teori lain dari yang telah dirumuskan
syafi’i.
3.
mengambil sebagian sebagian besar dari pokok-pokok yang dikemukakan Syafi’i,
tetapi menyalahinya dalam perincian dan menambahkannya dengan dasar lain.
Cara-cara
seperti di atas ternyata membuat teori-teori yang dirumuskan imam syafi’i
semakim berkembang sesuai dengan perkembangan program-program fiqiyah dari masa
ke masa.
Kemudian,
setelah mazhab yang empat memasyarakat dan dianut oleh banyak masyarakat, para
fuqaha mempelajari ilmu ushul fiqh dalam dua versi berikut ini.
1.
mempelajari ushul fiqh sebagai ilmu yang terlepas dari pengaruh furu’
2.
mempelajari ushul fiqh di bawah pengaruh furu’ merumuskan kaidah-kaidah dasar
yang mengutamakan hukum-hukum yang telah ditetapkan para imam.
Versi
pertama disebut sebagai jalan syafi’iyah, karena imam syafi’i adalah permulaan,
imam yang menetapkan dasar-dasar tasyri’ terlepas dari pengaruh furu’.Jalan ini
disebut juga dengan jalan mutakallimin karena banyak ulama kalam yang membahas
ilmu ini menurut jalan yang ditempuh al-syafi’i.
Versi
kedua tersebut sebagai jalan abi hanifah, sebab merekalah yang membuat dan
menjalani cara ini. Di antaranya mereka membuat kaidah-kaidah ushul untuk
menguatkan furu’ yang telah ada untuk menshahihkan instinbath hukum yang telah
dilakukan terlebiih dahulu, untuk mempertahankan apa-apa yang telah menjadi panutan
masyarakat. Dengan kata lain, mereka mempelajari ushul sebagai sumber fiqh yang
telah ada.
Kemudian
setelah kedua jalan diatas ditempuh masing-masing pihak, mereka berusaha
menyusun kitab dengan menngompromikan kedua jalan itu. Jadi para ulama itu ada
yang berasal dari goglongan hanafiyah seperti muzafaruddin ibn abi al-syathiby
al-baghdady (w.694) dengan kitabnya badi’ al-nizam al-jami’ baina kitab
al-bazdanyal-ihkam, dari goglongan syafi’iyah seperti tajuddin abd al-wahab
al-sukki(w.711 M) dengan kitabnya jam al-jawami’. Usaha para ulama itu diikuti
kemudian oleh beberapa ulama ushul fiqh terkemuka sepeninggal mereka seperti
al-sayawkani (w.1250H) dengan kitabnya Irsyad al-fuhul li tahqiq al-haq min
al-ushul, muhammadal-khudhari beik (w:1927M)dengan kitabnya ushul fiqh dan
muhammad abd rahman al-mahlawy(w.1920M) dengan kitabnya tashhil al-wushul ila
ilm al-ushul.[4]
B.
permulaan pembukuan
Orang
yang pertama terkenal menyusun ilmu ushul fiqh beserta kaidah-kaidahnya ialah
imam syafi`i. Nama lengkapnya ialah Muhammad idris asyafi`i,
dalam bukunya yang berjudul: ar-risalah. Dan inilah kitab ushul fiqih yang
pertama ia susun dan dapat kita lihat sekarang ini.
Di
samping itu, ada juga sebagian ulama yang menjelaskan bahwa,sebelum asyafi`i
menyusun kitab risalah , sebenarnya telah ada ulama yang menyusun ushul fiqih
,yakni imam Abu yusuf. Tetapi karena tulisan beliau tidak dikembangkan oleh
murid-murid beliau, maka hilang begitu saja hingga tidak dapat kita lihat
sekarang ini.
Oleh
karena itu , maka tetaplah dikatakan imam syafi`i ialah bapak ilmu ushul fiqih
, karena beliau dianggap penuyusun yang pertama kalinya.
Setelah ar-risalah imam syafi`i tersebut ,
barulah timbul kitab-kitab ushul fiqih yang dikarang oleh para ulama, baik dari
mazhab syafi`i sendiri maupun dari mazhab yang lain. Bentuk dan metode kitab
ushul fiqih ini terkadang sama, karena sifatnya hanya meringkas dari
kitab-kitab yang telah ada tapi ada pula yang berlainan. Kemudian muncul kitab
ushul fiqih yang dikenal dengan namairsyadul
fukhul yang dikarang oleh imam syaukany, yang bersifat evaluasi terhadap
materi kitab ushul fiqih yangada tanpa menghiraukan mazhab atau alirannya.
Kemudian buku ini diringkas pula oleh salah seorang murid beliau diberi nama
dengan kitab “ husulul makmul ‘’
III. Penutup
A. Kesimpulan
1. Ushul Fiqh telah ada sejak adanya fiqih.Karena
fiqh yang dilakukan dengan jalan ijtihad telah ada sejak zaman sahabat,
sekalipun belum tersusun seperti yang ada sekarang ini.
2.
Kitab ushul fiqih yang pertama berjudul “ar-Risalah” yang disusun oleh Imam
Syafi’i, oleh karena itu Imam Syafi’i disebut bapak ilmu ushul fiqh. Setelah
itu timbul kitab-kitab ushul fiqh yang dikarang oleh para ulama baik dari
mazhab Syafi’i sendiri maupun dari mazhab lain.
B. Implikasi
1. Semoga
dengan kehadiran makalah ini dapat menjadi pengalaman yang berharga bagi
penulis dan dapat menjadi motivasi untuk lebih kreatif dalam membuat karya tulis ilmiah.
2. Diharapkan
kepada segenap pembaca kiranya berkenan memberikan saran dan masukannya dalam
penyusunan karya tulis ilmiah seperti dalam penyusunan makalah ini.
Pertanyaan:
2.menurut anda syarat2
apa yg harus di miliki oleh seorang mujtahid atau org yg melakukan ijtihad
dalam menetapkan suatu hukum secara umum?..
1.mengenai pendapat
iman syafi’iy yg menyamakan ijtihad dengan
qiyas yakni 2 nama tpi maksudnya 1.sementara ulama lainx mengatakan
ijtihad itu mncakup rakyup,qiyas dan akal. Nah yg ingin saya pertanyakan ap
maksud dari pendapt mereka dan tolong berikan contohnya?...
DAFTAR PUSTAKA
Djalil, A. Basiq, Ilmu Ushul Fiqih (jl.
Tambra Raya No. 23 Rawamangun-Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010).
Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh
,(Jakarta:PT raja grafindo 2014).
Departeman Agama
RI, Al-Qur’an
dan terjemahannya, CV Penerbit J-Art, Bandung, 2007.
[1]Drs.
H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., Ilmu Ushul Fiqih (jl. Tambra Raya
No. 23 Rawamangun-Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010) h. 20-21.
[2]
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya (Bandung,
CV Pernerbit J-Art) h. 185.
[3]Departeman
Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, h. 38
[4]
Prof.Dr.H.Alaiddin Koto, M.A., Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh ,(Jakarta:PT
raja grafindo 2014),h. 26-34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar